BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kearifan
lingkungan atau kearifan lokal masyarakat sudah ada di dalam kehidupan
masyarakat sejak zaman dahulu mulai dari zaman prasejarah hingga saat ini,
kearifan lingkungan merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan
alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama,adat
istiadat petuah nenek moyang atau budaya setempat (Wietoler dalam Akbar, 2006)
yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk
beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, perilaku ini berkembang menjadi suatu
kebudayaan di suatu daerah dan akan berkembang secara turun-menurun.
Kearifan
lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus
dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung
didalamnya dianggap sangat universal. Secara umum, budaya lokal atau budaya
daerah dimaknai sebagai budaya yang berkembang di suatu daerah, yang
unsur-unsurnya adalah suku bangsa yang ada di daerah itu.
Kearifan
lokal atau local wisdom atau genius lokal kini semakin penting untuk didalami,
berkenaan dengan rencana Pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan karakter
bangsa dan ekonomi kreatif.
Masing-masing
daerah memiliki kearifan lokal.
Letak
geografis dan perjalanan sejarah politik suatu daerah melahirkan kearifan lokal
yang berkembang didaerah tersebut.
Demikian juga halnya dengan daerah Lampung,
akibat letak geografis dan perjalanan sejarah politik masa lalu serta kontak
budaya yang selama itu terjadi, telah melahirkan kearifan lokal yang telah
berhasil menghantar kan masyarakat Lampung ke era sekarang. Kearifan lokal
adalah sesuatu yang bernilai dan disepakati untuk dijadikan pegangan bersama
sehingga tetap tertanam dalam waktu yang sedemikian lama
Cakak pepadun adalah sebuah upacara atau gawi dari
masyarakat lampung. Gawi ini di lakukan pada orang yang sudah cukup umur.
Di
makalah ini di sajikan pengertian-pengertian dan tata cara adat cakak pepadun
agar memberikan pengetahuan dan manfaat bagi pembaca. Dapat sebagai sarana dan
pedoman bagi pembaca yang tidak tau aturan-aturan pada adat istiadat cakak
pepadun.
Namun
pada era sekarang ini sudah jarang masyarakat lampung yang masih melestarikan
upacara ini secara utuh, namun upacara pemberian gelar ini di lakukan bersamaan
dengan pernikahan.
BAB II
PERMASALAHAN
2.1. Rumusan
Masalah
Dari
makalah ini kami dapat mengambil masalah antara lain:
1.
Apa Sajakah Jenis-Jenis Begawi ?
2.
Bagaimana Proses Pelaksanaan Begawi ?
3.
Bagaimana Proses Pelaksanaan Cakak
Pepadun ?
4.
Bagamiana perlengkapan Cakak Pepadun ?
2.2. Batasan
Masalah
Adapun batasan masalah nya antara lain:
1.
Bagaimana Proses Pelaksanaan Begawi
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1. Begawi
Begawi adalah proses
pengambilan kedudukan kepunyimbangan dalam adat lampung lima kebuayan. Ada tiga
sebab melakukan begawi adat, yaitu:
1. Begawi Nyusuk
Begawi nyusuk adalah salah satu prosesi
pemberian gelar adat yang dilakukan untuk seseorang yang belum menjadi anggota
masyarakat adat/suku lampung.
Syaratnya harus diakui oleh penyimbang
marga di 5 (lima) kebuayan melalui sidang adat. Setelah itu penyimbang marga 5
(lima) kebuayan memanggil penyimbang-penyimbang tiuhnya untuk memberitahu dan
mengadakan musyawarah, setelah itu baru seseorang yang akan melakukan begawi
diberitahu syarat-syarat untuk melakukan begawi adat tersebut.
Syarat Begawi Nyusuk :
- Memotong 1 ekor kerbau untuk membuat
batang pekalan
- Memotong 1 ekor kerbau untuk membuat
tajing Belakat
- Memotong 1 ekor kerbau untuk membuat
sesat
- Memotong 1 ekor kerbau untuk membuat
rumah
- Memotong 1 ekor kerbau untuk membuat
pepadun
Dalam begawi ini seseorang wajib
memotong kerbau 1 ekor dan yang lainnya dapat diganti dengan uang yang
besaranya sesuai dengan kesepakatan hasil musyawarah.
2. Begawi Mancor Zaman
Begawi ini dapat dikatakan begawi yang
dilakukan oleh sebuah keluarga yang dari zaman ke zaman (mulai dari kakek
sampai orang tuanya) sudah pernah melakukan begawi sehingga ketika orang
tersebut akan melaksanakan begawi lagi untuk anak keturunannya inilah yang
disebut begawi Mancor Zaman. Dengan demikian Begawi mancor zaman juga dapat
dikatakan begawi pelimpahan jabatan oleh seorang penyimbang marga kepada anak
keturunannya.
Syarat Begawi Mancor Zaman :
- Memotong Kerbau Hidup
- Duit sidang adat
- Duit penumbukan
- Duit tambulan
- Duit Kerbau Tiuh
3.1 Begawi Pepadun Kamah/Basuh Pepadun
Begawi pepadun kamah/basuh pepadun
merupakan salah satu macam prosesi begawi dalam adat lampung di 5 (lima)
kebuayan dilakukan karena ada seseorang/anggota dalam kebuayan tersebut
melakukan pelanggaran dalam tatacara adat lampung. Ada dua macam cara
melaksanakan begawi ini yaitu dengan cara melakaukan begawi sendiri dengan
memotong kerbau hidup atau menumpang/ikut pada begawi orang lain dengan cara
membayar kebau mati sebesar 1.200.000.
3.2 Begawi Adat Miji/Begawi Adat Sendiri
Begawi adat miji dilakukan
oleh seseorang yang ingin memisahkan diri dari pepadun yang mereka gunakan
selama ini. Dalam adat lampung di lima kebuayan jika seseorang melakukan
pelanggaran/perbuatan yang kurang baik maka satu marga akan ikut terkena
dampaknya sesuai peraturan adat. Salah satu tujuan dari begawi adat miji ini
adalah seseorang ingin memisahkan diri sehingga jika dikemudian hari dia
melakukan kesalahan/pelanggaran maka hanya dia sendiri yang akan menanggung
akibatnya. Persyaratan untuk melakukan gawi adat miji adalah harus kesepakatan
kedua belah pihak yang akan memisahkan diri, disyahkan oleh penyimbang marga
lima kebuayan serta menyiapkan biaya-biaya yang dibutuhkan.
Dua dari tiga macam begawi yang berlaku
di 5 (lima) kebuayan yaitu begawi nyusuk, mancor zaman dan begawi basuh
pepadun/pepadun kamah adalah begawi yang dilakukan untuk pemberian gelar adat
lampung. Jika seorang anggota/anak buah dari suatu marga ingin mendapatkan
gelar adat maka penyimbang marganya akan memanggil penyimbang-penyimbang marga
di lima kebuayan serta memberi tahu penyimbang tiuh/pepadun untuk kemudian
mengadakan rapat adat dan kemudian menerangkan syarat-syarat kepada yang
bersangkutan. Setelah proses-proses tersebut sudah dilaksanakan maka kemudian
penyimbang marga menunjuk pengelaku marga yaitu orang dipercaya oleh penyimbang
marga untuk mengatur jalannya prosesi adat begawi dari awal hingga akhir. Dalam
acara begawi terdapat istilah-istilah antara lain injak batin dan pasuwa. Injak
batin adalah prosesi gawi yang menampilkan tari-tarian atau nigol kemudian
orang yang nigol tersebut akan diberikan uang dalam amplop oleh para pengelaku.
Pasuwa merupakan puncak gawi nibah dipanca haji dihadiri oleh penyimbang marga
5 kebuayan dimana jempana pepadun atau penyimbang tiuh memasuki sesat dan duduk
didalam kuade. Ciri dari pasuwa adalah adanya buah penjarau (panjat pinang),
buah penjarau tersebut menunjukkan jumlah orang yang akan digawikan atau yang
akan mendapat gelar adat saat itu sampai cakak pepadun.
3.3 PROSESI
BEGAWI
A. Syarat-syarat Begawi
1. Membuat
sesat (panggung adat) yang ditutup dengan kain putih
2. Membuat penjarau (batang pinang) yang
akan dipanjat pada saat acara begawi. Penjarau ini digunakan sebagai acara
hiburan bagi orang-orang yang sudah lelah bekerja mempersiapkan acara begawi
tersebut.
3. Apabila yang melaksanakan begawi
adalah penyimbang marga maka jumlah penjaraunya ada 4 ditambah 1 kayu wara dan
1 panca haji. Jika bukan penyimbang maka hanya ada 2 penjarau saja.
4. Menyiapkan duit adat untuk penyimbang
marga atau raja
a) Bia gawi Rp. 120.000
b) Pesakin mengan
c) Pesakin pedom
d) Emas
e) Tapis cakah
B. Pra Begawi
Sebelum suatu marga/kebuayan
melaksanakan begawi adat yang dilakukan adalah:
1. Ngolom (memberitahu dan ngundang)
penyimbang-penyimbang kampung/lebu serta penyimbang marga lima kebuayan. Pada
saat ngolom yang harus dibawa adalah dodol dan duit adat sebesar 24.000
2. Sidang adat didalam marga yang
dihadiri oleh perwakilan 5 (lima) kebuayan
3. Sidang penentuan bia/biaya penumbukan
4. Menentukan waktu canggot (canggot
matah, canggot agung dan canggot congggong)
5. Pengelaku sudah dapat mulai bekerja
yaitu membuat sesat yang dibuat/dibagi menjadi kamar-kamar atau bilik. Sesat
yang sudah dibuat dibagi menjadi tiga bagian yaitu pertama Arob tempat muli
meranai raja ketika canggot, kedua lapang agung adalah tempat muli meranai
pepadun dan yang ketiga buntut tempat muli meranai injak batin duduk ketika
acara adat atau canggot.
C. Canggot
1. Canggot Matah
Canggot matah adalah dimana para
pengelaku melakukan latihan acara adat misalnya latihan pisaan untuk anak-anak
raja atau penyimbang marga. Pada canggot matah ini pakaian peserta canggot
belum ditentukan artinya bebas tapi sopan.
2. Canggot Agung
a. Canggot Agung Muli
Meranai
Pada saat canggot agung ini maka tata
tertib adat sangat berlaku dan setiap warga adapt harus menurunkan muli meranai
(pemuda/pemudinya) apabila tidak maka akan diproses secara adapt dan jika
terdapat kesalahan pepadunya dianggap kotor/cacat.
• Pakaian perempuan
pakaian kebaya, pakai kain tapis dan lain-lain
• Laki-laki pakai
celana panjang, kopiah, pakai kai/simpor
• Mengumpulkan muli meranai (pemuda dan
pemudi) di tempat rajanya/penyimbang marganya masing-masing atau tempat yang
sudah ditunjuk. Kemudian pengelaku muli meranai yang melaksanakan begawi akan
menjemput untuk dikumpulkan di lokasi begawi.
• Debahko muli meranai (pemuda dan
pemudi), muli meranai yang dijemput dikumpulkan. Acara ini dibagi tiga tahap,
pertama injak batin yang diturunkan adalah pemuda/pemudi yang belum pesuwa
pepadun atau belum begawi belum ada kedudukan dalam adat kepunyimbangan pakaian
yang digunakan berwarna merah. Kedua Injak pepadun bersih untuk pemuda/pemudi
yang orangtuanya sudah naik pepadun pakaian yang digunakan berwarna kuning
kemudian yang ketiga Injak penyimbang marga yaitu pemuda/pemudi anak raja atau
anak penyimbang marga pakaian yang digunakan adalah putih. Ketika muli meranai
itu sampai dilokasi maka akan disambut dengan tabuhan musik adat yang
masing-masing mempunyai karakter. Jika Injak batin suara tabuhannya disebut
tawak-tawak rua “gang-gung”. Injak pepadun tabuhannya tawak-tawak rua canang
rua “gang-gung tang ting” dan jika Injak penyimbang marga cukup dengan canang
rua “tang-ting”. Muli meranai yang diturunkan memasuki lokasi canggotnya akan
berbeda-beda, injak batin masuk melalui pintu buntut, injak pepadun melalui
pintu lapang agung dan injak penyimbang marga melalui pintu arob.
• Untuk tamu yang berasal dari kebuayan
lain jika ingin ikut maka mereka langsung saja bergabung dengan salah satu muli
meranai kampung yang melaksanakan gawi.
• Kemudian dilakukan nitik canang oleh
raja/wakilnya menandakan acara canggot agung sudah dimulai dan berlaku segala
hukum adat.
• Setelah nitik canang dilakukan pisaan
muli meranai yang diawali oleh muli meranai dari dalam kampung dan dilanjutkan
oleh muli meranai diluar marga. Pangkal pisaan yang diberi judul “muli hares”
atau muli hadir.
• Setelah pisaan muli meranai berkumpul
dilanjutkan dengan acara setumbukan/nari berturut-turut injak batin, injak
pepadun dan injak penyimbang marga laki-laki dengan laki-laki kemudian
perwakilan marga akan membagi-bagikan mereka duit (dalam amplop) yang
besarannya sesuai kesepakatan sebelumnya.
• Dilanjutkan dengan nitik canang adok
muli meranai yang melaksanakan gawi.
• Nyetar atau menyiapkan hidangan makan
dan dilanjutkan dengan pisaan muli meranai dengan pangkal pisaan “Nyelah yang”
artinya mengajak makan.
• Betekos membereskan perlengkapan
setelah makan.
• Pisaan kembali dengan pangkal pisaan
“Bundoran” menandakan canggot agung hampir selesai.
• Setelah pisaan maka raja/wakilnya dari
yang melaksanakan gawi nitik canang yang menjelaskan bahwa canggot agung muli
meranai sudah selesai dan peserta canggot agung muli meranai diantarkan pulang
ke rumahnya masing-masing.
b. Canggot agung Perawatin
• Setelah canggot agung muli meranai
selesai maka dilanjutkan dengan Canggot perawatin. Canggot perawati diawali
dengan serak sepi muli meranai sai begawi.Yang melakukan serak sepi adalah lebu
atau kelama atau jika tidak ada dapat diwakilkan oleh pengelaku.
• Kegiatan dalam canggot perawatin ini
adalah setumbukan /nigol, negak ko penjarau, nurun ko atau ngedebah ko pilangan
perawatin (prosesnya sama dengan nurun ko muli meranai). Jika begawi ini ikut
dengan raja maka ngedebahko pilangan penyimbang merga langsung naik pepadun.
• Kemudian melakukan setumbukan yaitu
perawatin yang berada didalam kamar/bilik masing-masing keluar ke lapangan
upacara untuk kemudian melakukan nigol setumbukan dibelakang pepadunnya
masing-masing. Setelah melakukan nigol maka bendahara dari masing-masing raja
membagi-bagikan amplop (uang nigol).
• Selanjutnya yang begawi menaiki
pepadun dan melakukan tigol sebanyak 3 kali. Kemudian bendahara membagi-bagikan
uang nigol kembali.
• Setelah yang melaksanakan gawi menaiki
pepadun tersebut dilanjutkan dengan acara “minjak ngongkop” yaitu semua
penyimbang marga bangun dan melakukan nigol dilanjutkan dengan pembagian uang
tigol oleh bendahara yang melakukan gawi adat.
• Dilanjutkan dengan Nyetar yaitu
menyiapkan hidangan kemudian dilanjutkan dengan tari sabai.
• Kemudian dilanjutkan dengan nitik
canang pemberian adok/gelar penyimbang yang melakukan gawi kemudian raja atau
yang mewakili memberi gelar orang-orang yang ikut begawi.
• Terakhir adalah do’a dan makan-makan.
3. Canggot conggong
Canggot conggong sama dengan canggot
matah, peserta canggot tidak diharuskan datang. Pada acara ini muli meranai
nganik conggong (makan buntut kerbau) dan yang melaksanakan gawi mengucapkan
terima kasih. Yang menjadi catatan adalah kerbau yang digunakan atau dipotong
untuk acara gawi maka pada saat pemotongan/penyembelihannya harus didepan
penyimbang marga dan pengelakunya. Sebagian dari daging kerbau tersebut
diberikan kepada penyimbang-penyimbang pepadun tiap-tiap kampung yang diberi
istilah bagi-bagi balung. Kerbau yang dipotong untuk gawi tersebut dibagi
menjadi tiga bagian yaitu kepala untuk bakbai/ibu-ibu, badannya untuk
penyimbang pada saat canggot agung dan conggongnya untuk muli meranai pada saat
canggot conggong.
D. Hal-hal yang dapat dikenai
denda/sanksi pada saat prosesi adat sedang berlangsung
Dalam adat atau prosesi adat lampung
khususnya dilima kebuayan terdapat aturan-aturan yang jika terjadi akan
mendapatkan sanksi/denda. Peraturan-peraturan tersebut dikenal dengan istilah
Silip 8, Ugi-ugi 12, Cempala 24.
Ketiga istilah diatas adalah peraturan
perundang-undangan adat ketika kita kita sedang pecundak/sedang melaksanakan
adat.
1. Silip 8 ; jika yang menyemarkan adat
atau melakukan kesalahan adalah seseorang yang statusnya masih debawah
pepadun/anak pepadun.
2. Cempala 12 dan ugi-ugi 24 adalah jika
yang melakukan kesalahan adalah seorang sutan.
Misal seorang sutan mempunyai saudara
laki-laki 2 orang jika mreka melakukan kesalahan maka sutan tersebutlah yang
bertanggung jawab.
Contoh dari larangan tersebut adalah
duduk berdekan dengan lain jenis yang bukan istri/keluarganya, menyenggol pagar
adat (tempat pelaksanaan canggot) dan suami istri bercerai. Jika pelanggaran
tersebut terjadi maka orang yang melakukan kesalahan tersebut dikenai denda
atau untuk membersihkan pepadunya yaitu dengan melakukan/ikut begawi bersih
pepadun.
2. HIRARKI KEDUDUKAN DALAM ADAT
Dalam adat 5 (lima) kebuayan tata urutan
gelar adat mulai dari yang tingkat bawah hingga tingkat atas adalah :
1. Saka-saka ; gelar yang dipakai
Minak/batin
2. Jempana Pati Kuning ; Puan/Rajo
3. Penyimbang Pepadun/Tiuh ; Sutan/Raja
4. Tongkok Penyimbang Marga ; Pangeran,
Ngedika, Tuan
5. Penyimbang Marga (Pemimpin marga).
Penyimbang Marga adalah Seorang tetua
adat yang menguasai suatu wilayah kampung atau marga/kebuayan. Penyimbang Marga
merupakan urutan teratas dalam urusan adat lampung di 5 (lima) kebuayan, tanpa
penyimbang marga segala urusan adat tidak dapat diputuskan/dilaksanakan artinya
segala urusan adat merupakan wewenang penyimbang marganya masing-masing.
Dibawah penyimbang marga terdapat tongkok penyimbang marga dan penyimbang
pepadun/penyimbang tiuh yang dapat dikatakan wakil dari penyimbang marga.
Penyimbang tiuh dan tongkok penyimbang marga sudah dapat memutuskan urusan anak
buah mereka (saka-saka dan jempana pati kuning) hanya saja harus tetap
berkoordinasi/laporan dengan penyimbang marga. Misalnya seorang sutan ingin
memberikan gelar kepada keponakannya maka sudah dapat memberikan gelar itu
dengan syarat sudah melapor kepada penyimbang marganya. Jika seorang penyimbang
pepadun yang mempunyai gelar sutan/raja kemudian ingin menjadi tongkok
penyimbang marga yang mempunyai gelar pangeran adat ngendika maka orang
tersebut harus melaksanakan/mengikuti gawi adat.
E. Syarat Menjadi Penyimbang
Pepadun/penyimbang tiuh
Jika seseorang ingin menjadi penyimbang
pepadun/tiuh syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah :
a. Semua penyimbang marga di lima
kebuayan setuju serta memenuhi syarat-syarat begawi.
b. Membayar bia/biaya kepada tokoh
adatnya masing-masing senilai 24
c. Memotong 2 ekor kerbau (1 untuk pasua
dan 1 untuk naik pepadun)sepertemuan tigol kepada penyimbang-penyimbang yang
datang dengan penumbukan tari tigol yang besaranya sesuai keputusan begawi.
d. Melakukan prosesi begawi seperti
canggot agung, pangan muli meranai, serak sepi sepi haga cakak pepadun, negakko
pejarau di halaman tempat tari tigol. Menurunkan pepadun dari rumah
masing-masing kehalaman tempat tari tigol. Memberi uang kepada penari tigol
pada saat mau cakak pepadun.
Masyarakat Lampung sebelum mendapat
pengaruh peradaban dari luar seperti India (Hindu Budha) sudah mengenal semacam
pemerintahan demokratis dengan bentuk marga. Di dalam pemerintahan marga
terdapat kelengkapan fisik berupa sesat, yaitu rumah besar yang berfungsi untuk
tempat berunding (Alf, 1954: 5). Menurut Ahmad Kesuma Yudha dengan mengacu pada
pendapat J.W. Naarding (Yudha, 1996: 3), pemerintahan marga dikenal setelah
kerajaan Tulang Bawang punah. Kekosongan pemerintahan ini dimanfaatkan
Sriwijaya menguasai Lampung dan memperkenalkan sistem pemerintahan adat marga.
Sistem ini berlangsung terus hingga kemudian Banten menguasainya
3.2 Pengertian Cakak Pepadun
Setiap masyarakat Lampung pepadun yang
sudah melaksanakan tahapan-tahapan prosesi adat, mulai dari selamatan/ syukuran
( ruyang-ruyang), sunatan/ khitanan, tindik telinga dan meratakan gigi ( seghak
sepei), upacara adat, tarian dan arakan bujang gadis ( canggot agung sumbai
muli meghanai), peresmian pernikahan secara adat (ngughuk kebayan), mengenal
tempat mandi (tughun mandi), ganti nama sementara (ngini ghik ngamai adok), dan
puncak upacara adat adalah cakak pepadun.
Cakak Pepadun merupakan puncak dari
acara yang harus dilaksanakan untuk member informasi tentang pemegang tanggung
jawab dan yang memiliki hak adat kepada masyarakat. Mereka yang telah melalui
cakak pepadun, bergelar Suttan, gelar yang paling tinggi dalam masyarakat adat
pepadun. Mereka yang bergelar suttan wajib menjadi contoh teladan, berbudi
pekerti baik, tokoh masyarakat, tokoh yang menjadi panutan di lingkungan
masyarakat dan lingkungan desa sehari-hari.
3.3 Peralatan Begawi Cakak Pepadun
Begawi
Cakak Pepadun ialah kegiatan/acara untuk mendapatkan gelar adat.
Dalam
hal prosesi upacara adat perkawinan berlaku pula upacara gawi. Begawi tersebut
bisa dilakukan di tempat mempelai pria maupun wanita. Untuk mempersiapkan
upacara begawi, para penyimbang kedua belah pihak di tempat masing-masing
mengadakan pertemuan atau bermusyawarah guna mengatur persiapan-persiapan yang
akan dilaksanakan.
Persiapan
yang harus dilakukan oleh pihak keluarga pria yakni menyiapkan semua alat-alat
perlengkapan adat untuk ngakuk majau (mengambil mempelai wanita) dan begawi
turun duwei atau cakak pepadun. Acara akad nikah dilakukan di tempat mempelai
pria, tapi ada kalanya atas permintaan pihak gadis, para penyimbang
mempersiapkan untuk menerima mempelai pria dan rombongannya serta melepas anak
gadis yang akan di ambil pihak bujang (gawi ngebekas majau) dan mempersiapkan
barang-barang bawaan/sesan.
Peralatan
adat yang perlu dipersiapkan dalam upacara begawi cakak pepadun, antara lain:
Pakaian Adat Lengkap, Sessat, Lunjuk/Patcah Aji, Rato, Kuto Maro, Jepano,
Pepadun, Panggo, Burung Garuda, Kulintang/Talo, Kepala Kerbau, Payung Agung,
Lawang Kuri, Titian/Tangga, Bendera, Kandang Rarang dan Kayu Ara.
1.
Pakaian Adat Lengkap
Pakaian
adat adalah pakaian yang dipakai pada saat upacara adat. Pakaian itu dalam
suatu upacara adat telah menjadi tradisi sejak dulu dan merupakan suatu hasil
dari perundingan/musyawarah adat yang disepakati bersama serta menjadi tradisi
secara turun temurun hingga sekarang. Pakaian upacara adat antara suku atau
marga satu dengan marga yang lain terdapat perbedaan istilah atau nama
benda-benda yang sama, walaupun sama-sama beradatkan pepadun.
Pakaian
yang biasanya di pakai pada saat upacara begawi cakak pepadun, terbagi atas:
pakaian Prowatin (Pepung), pakaian Mulei Menganai Aris, pakaian Penganggik,
pakaian Mulei Pengembus Imbun, pakaian Pengantin Tradisional serta pakaian
Penyimbang. Masing-masing pakaian ini memiliki perbedaan jenis sesuai dengan
pemakainya.
2.
Nuwo Balak dan Sessat Agung
Sessat/balai
adat adalah tempat permusyawaratan adat para Purwatin (majelis pemuka adat).
Tempat tersebut biasanya digunakan oleh masyarakat adat untuk bermusyawarah
berhubungan dengan upacara/acara perkawinan seperti menata, merancang,
menimbang, mengingat sampai memutuskan sesuai dengan permintaan yang punya
gawei pada para penyimbang/tokoh adat setempat. Acara-acara penting yang
dilaksanakan di sessat, antara lain: waktu menerima pesirah di sessat, waktu
penyimbang merwatin di sessat, waktu menerima uno gawei (uang), waktu makan,
minum, siang-malam pangan kibau (makan besar/makan kerbau), waktu ngedio di sessat,
cangget turun mandi, cangget mepadun, cangget bulan bago/gangget agung dan
mepadun.
3.
Lunjuk/Patcah Aji
Lunjuk
adalah mahligai upacara adat atau mahligai penobatan. Bangunannya terpisah dari
sessat dan mempunyai tangga dalam sebutan adat ijan titian. Bangunan itu
berbentuk panggung dengan tiang pendek. Di bagian tengahnya ada batang kayu ara
bertangkai empat bertingkat sembilan dan berbuahkan berupa kain, handuk, dan
kipas.
Pada
lantai lunjuk dekat kayu ara di pasang dua kursi yang beralaskan kain putih
atau dibuat lunjuk kecil beralaskan kain putih untuk tempat duduk mempelai.
Disinilah tempat diresmikannya kedudukan adat seseorang dengan gelar
kebesarannya serta diumumkan fungsi kekuasaan pemerintahan kekerabatannya.
Didepan
kedua kursi diletakkan kepala kerbau yang baru dipotong serta sebuah talam
berisi nasi yang di tata dengan daging kerbau serta hati kerbau yang telah di
masak dan disajikan lengkap dengan air minum serta kobokannya. Apabila hendak
mengenakan/memakaikan gelar Pengeran, maka kedua kaki mempelai dikawinadatkan
diatas lunjuk.
Kedua
mempelai dengan pakaian adat lengkap diarak dengan tetabuan dari rumah menuju
lunjuk dan didudukkan diatas kursi yang telah dipersiapkan, kemudian kedua
ujung kaki atau jari kanan laki-laki dengan ujung jari kiri perempuan (kedua
mempelai) dituangi air dingin sebanyak 7 kali. Diteruskan dengan pemasangan
gelar kedua mempelai. Upacara ini di sebut upacara turun duwai (turun mandi).
Turun duwai merupakan acara puncak pada acara pernikahan dan acaranya dilaksanakan
diatas panggung kehormatan yang dinamakan dengan patcah haji atau patcah aji
(tempat mengambil gelar).
4.
Rato
Rato/Rata
adalah kereta dorong beroda empat yang merupakan sarana adat bernilai tinggi.
Alat ini berfungsi untuk mengangkut kerabat penyimbang dalam upacara diantara
lunjuk dan sessat serta untuk menjemput ibu-ibu tamu agung dari daerah lain
yang datang menyaksikan gawei tersebut. Undangan itu di arak dan diiringi
tetabuhan dengan memakai pakaian adat naik ke atas Rato dari ujung kampung menuju
balai adat.
5.Kuto
Maro
Kuto
Maro adalah suatu tempat duduk dari seorang raja yang tertua bagi wanita. Bila
didalam sessat/rumah adat, benda itu dinamakan Kuto Maro, kalau berada di rumah
namanya Puade. Demikian tata guna Kuto Maro dalam upacara adat. Benda ini tidak
sembarangan orang bisa memakainya, harus ada syarat yang harus diselesaikan
terlebih dahulu.
6.Jepano
Jepano
merupakan alat angkut raja adat dan mempunyai nilai tinggi derajatnya karena
merupakan tandu adat yang digunakan pada saat pengambilan gelar Suttan. Setiap
Suttan harus menggunakan Jepano. Adapun cara memakai Jepano ini sudah diatur
tokoh-tokoh adat, sebagai berikut: Jepano di dandan dengan kain serba putih.
Seorang calon Suttan berdandan lengkap dengan pakaian kebesaran Suttan dengan
didampingi Ngigel Pepadun. Calon Suttan dan pendampingnya naik ke atas Jepano
yang di pikul dengan diiringi tetabuhan, payung agung, awan telapah menuju
sessat. Di depan sessat, disambut oleh tokoh-tokoh adat beserta para ibu-ibu
penyimbang dengan dua kursi untuk upacara tari Igel Mepadun. Setelah itu
pengurus gawi telah siaga mengatur kejengan pepadun/letak pepadun asli Suttan
baru didalam sessat
.7.
Pepadun
Pepadun
adalah tahta kedudukan penyimbang atau tempat seorang raja duduk dalam kerajaan
adat. Pepadun digunakan pada saat pengambilan gelar kepenyimbangan (pemimpin
adat). Kegunaan pepadun yakni sebagai simbol adat yang resmi dan kuat,
berakarkan bukti-bukti dari masa ke masa secara turun temurun. Seorang
penyimbang yang sudah bergelar Suttan diatas pepadun sendiri/pepadun warisan
nenek moyang/orangtuanya, maka ia bertanggungjawab sepenuhnya untuk mengurus
kerajaan kekerabatan adatnya.
Secara
terminology, kata pepadun berasal dari kata perpaduan yang berarti dalam bahasa
Lampung artinya berunding. Kursi Pepadun dalam adat sebagian besar terbuat dari
bahan kayu tebal. Pepadun melambangkan pula status/derajat seseorang dalam
sosial kemasyarakatan. Pepadun juga merupakan atribut yang utama dari
penyimbang masyarakat Lampung beradatkan pepadun.
8.
Panggo
Panggo
adalah salah satu sarana adat untuk anak pria atau wanita seorang tokoh adat,
berbentuk talam kecil yang terbuat dari perak asem. Kegunaan Panggo sebagai
alas pada saat dua anak putri penyimbang di panggo/digotong oleh dua orang
laki-laki yang masih kerabatnya dari rumah sampai diterima oleh panitia gawi di
sessat yang akan ikut meramaikan acara adat seperti cangget dan lain-lain.
Selain itu, juga pada acara pelepasan seorang putri penyimbang yang akan
menikah (pinang ngerabung sanggang). Putri tersebut di panggo dari rumah sampai
ke lunjuk balak. Sedangkan calon suami putra penyimbang di panggo dari lunjuk
ke rato burung Garuda yang telah siap untuk pulang membawa sang putri ke tempat
sang suami.
9.Burung
Garuda
Burung
Garuda biasanya bersama dengan rato yang di sebut Rato Burung Garuda. Benda ini
merupakan kendaraan raja dari zaman purbakala. Burung Garuda di sini memiliki
badan yang panjang dan besar, sayap dan bulunya terbuat dari kain putih dengan
maksud kendaraan tersebut dapat menempuh perjalanan jarak jauh. Sebab dia
mempunyai dua kemampuan yaitu berjalan di daratan dan terbang di udara, maka
dalam penggunaannya tidak/jarang terpisah dari rato karena ia mampu menarik
atau menerbangkan kendaraan yang akan membawa rombongan pineng ngerabung sanggang/rombongan
pihak pria dari tempat mempelai wanita ke tempat mempelai laki-laki. Burung
Garuda itu pada masyarakat Lampung mempunyai makna yang sangat tinggi yakni
melambangkan dunia atas dan dunia bawah.
10.
Kulintang/Talo
Kulintang
merupakan bebunyian seperti gamelan Jawa tapi tidak lengkap. Hanya berupa
gamelan sederhana. Seni bunyi-bunyian ini terbuat dari bahan logam perunggu
berjumlah 12 buah dengan nada suara yang berbeda-beda. Alat musik itu biasanya
ditabuh untuk mengiringi acara-acara adat; Tabuh Sanak Miwang Diljan, Tabuh
Sereliyih Adak Deh, Tabuh Serenundung Lambung, Tabuh Tari, Tabuh Muli Turun di
Sessat, Tabuh Baris untuk Gubar Sangget, Tabuh Damang Kusen.
Dalam
acara-acara adat gawi, Kulintang juga turut menentukan ramai tidaknya acara
adat baik di sessat maupun di rumah. Sebab penabuh harus orang-orang yang
benar-benar cakap menabuhnya. Apalagi setiap saat Kulintang ini
ditampilkan/dibunyikan dalam acara-acara seperti: Cangget, Nyambut tamu, di
Lunuk, di Pusiban, di Tanah Adat Sessat.
11.
Kepala Kerbau
Kepala
Kerbau yang diletakkan diatas lunjuk/panggung kehormatan melambangkan
keperkasaan atau kejantanan dari mempelai pria, karena pada zaman dulu
tengkorak kepala orang yang disuguhkan dihadapan orang ramai yang merupakan
hasil dari si pemuda yang akan dikawinkan. Tengkorak/kepala orang tersebut
merupakan syarat dalam perkawinan jujur. Perkembangan selanjutnya, tengkurak
itu di ganti dengan hewan kerbau.
12.
Payung Agung
Payung
Agung merupakan tanda kebesaran raja adat. Payung ini terbuat dari bahan kain
warna putih, kuning dan merah. Ketiga warna dari payung tersebut melambangkan
tingkat kedudukan penyimbang/kepala adat pada masyarakat Lampung beradat
Pepadun. Payung Putih; digunakan oleh Penyimbang Mega/Marga. Payung Kuning;
digunakan oleh Penyimbang Tiyuh dan Payung Merah; digunakan oleh Penyimbang
Suku.
13.
Lawang Kuri
Lawang
Kuri merupakan pintu gerbang kerajaan adat dilingkungan masyarakat adat
Pepadun. Fungsi lawang kuri ini didalam upacara adat adalah sebagai
pembatas/pintu, dimana pada lawang kuri dipasang kain penutup berupa sanggar.
14.
Titian/Tangga
Titian
Tangga ini berasal dari kata ijan titian. Ijan titi juga merupakan sarana adat.
Biasanya dipasang di sessat, lunjuk dan tangga rumah si empunya gawi. Ijan
titian disebut pula titian kuya/jalan putri yaitu tangga yang diatasnya
dibentang kain putih/kain belacu untuk tempat langkah kaki penyimbang dan
mempelai menuju balai adat dalam sebuah upacara adat.
15.
Bendera
Bendera
dari kain berbentuk segitiga, dipasang pada tiang-tiang bambu diletakkan di
depan sessat dan di depan rumah yang punya gawi.
Kandang
Rarang
Kandang
Rarang adalah lembaran kain putih yang panjang, dipakai untuk
mengurung/membatasi rombongan para penyimbang atau mempelai yang berjalan
menuju ke tempat upacara adat dan di pakai untuk menyambut tamu agung bersama
dengan payung, awan telepah serta diiringi tatabuhan. Kain putih itu di pasang
pada ujung kain, dipegang oleh para pria muda pada setiap penjuru. Semua yang
di kurung berpakaian adat.
16.
Kayu Ara
Kayu
Ara biasanya terletak ditengah lunjuk (panggung kehormatan) dikeempat sudut
lunjuk. Kayu Ara ini berbentuk seperti pagoda sederhana menjulang keatas.
Tiangnya terbuat dari batang pohon pinang yang dilingkari oleh lingkaran bambu
berhias yang digantungi berbagai macam benda seperti kain, selendang, handuk,
dan kipas.
Pada
akhir acara, pohon kayu ara itu di panjat oleh kerabat yang membantu bekerja
dalam upacara adat dan anak-anak setempat. Mereka saling berebut untuk
mendapatkan buah kayu ara. Biasanya tiang pohon ini di beri bahan pelicin agar
tidak mudah di panjat. Bagi masyarakat pribumi Lampung, kayu ara melambangkan
pohon kehidupan.
3.2 Tahapan Begawi Cakak Pepadun
a. Ngakuk Muli
(Lamaran)
Tata cara dan upacara perkawinan adat
pepadun pada umumnya berbentuk
perkawinan jujur dengan menurut garis
keturunan bapak (patri lineal) yaitu
ditandai dengan adanya pemberian
sejumlah uang kepada pihak perempuan untuk
menyiapkan sesan, yaitu berupa alat-alat
keperluan rumah tangga. Sesan tersebut
akan diserahkan kepada pihak keluarga
mempelai laki-laki pada upacara
perkawinan berlangsung yang sekaligus
sebagai penyerahan (secara adat)
mempelai wanita kepada keluarga/klan
mempelai laki-laki.
Dengan demikian secara hukum adat, maka
putus pula hubungan keluarga
antara mempelai laki-laki dan mempelai
perempuan.
Terjadinya perkawinan menurut adat suku
lampung pepadun melalui 2
cara, yaitu Rasan Sanak dan Rasan Tuho.
1. Rasan Sanak
Perkawinan menurut rasan sanak ini atas
kehendak kedua muda-mudi
dengan cara berlarian (sebambangan) di
mana si gadis dibawa oleh pihak
bujang kekepala adatnya, kemudian
diselesaikan dengan perundingan
damai diantara kedua belah pihak.
Perbuatan mereka ini disebut “Mulei
Ngelakai”. Apabila gadis yang pergi
berlarian atas kehendak sendiri maka
disebut “Cakak Lakai/Nakat”. Dalam acara
berlarian ini terjadi perbuatan
melarikan dan untuk si gadis dipaksa
lari bukan atas persetujuannya.
Perbuatan ini disebut “Tunggang” atau
“Ditengkep”.
Perbuatan tersebut diatas merupakan
pelanggaran adat muda-mudi dan
dapat berakibat dikenakan hukum secara
adat atau denda. Tetapi pada
umumnya dapat diselesaikan dengan cara
damai oleh para penyembang
keduabelah pihak.
2. Rasan Tuhou
Rasan Tuhou (pekerjaan orang tua), yaitu
perkawinan yang terjadi
dengan cara “lamaran” atau pinangan dari
pihak orang tua bujang kepada
pihak orang tua gadis. Rasan tuhou ini
juga dapat terjadi dikarenakan
sudah ada rasan sanak, yang kemudian
diselesaikan oleh para penyimbang
kedua belah pihak dengan rasan tohou.
b. Pepung Marga (sidang
marga)
Mengundang prowatin untuk melaksanakan
pepung marga (sidang
marga), mencari penanggung jawab dalam
acara begawi (pangan tohow) agar
upacara adat dapat berjalan dengan baik
maka pangan tohow bertanggung jawab
atas semua kegiatan yang akan di
rencanakan dalam acara begawi. Pepung marga
itu membicarakan dau-dau pengajian (uang
adat) dan menentukan hari yang akan
dilaksanakan.
c. Ebal Serbo (begawi lengkap)
Ebal serbo adalah cara mengambil gadis
dalam tata cara tertinggi dalam
adat lampung pepadun maka pihak
laki-laki menjemput pihak perempuan di
rumah adat, kemudian dari pihak
pengantin laki-laki memiliki juru bicaranya
istilah
juru bicara itu di sebut bebakheb. Terjadilah negosisasi diantara babekheb
pihak laki-laki dan perempuan untuk melaksanakan begawi adat tahap selanjutya
yaitu
penghantaran dari rumah adat ke rumah laki-laki
menggunakan kereta
kencana
(khatow) yaitu gerobak kecil beroda empat yan di kelilingi oleh kain
putih
dan diatasnya di pasang burung garuda. Si perempuan duduk di atas kereta
kencana
dengan memegang pangkal tombak dan si laki berjalan di depannya
memegang arah ujung tombak, di
tengah-tengah tergantung kendi, pisang raja,
kelapa yang sudah tumbuh, dan
labai.Kemudian kandang khakhang melingkar
setengah lingaran yang mana di dalamnya
yaitu mukhrim dari pengantin laki-laki
dalam perjalanan itu di arak dengan
arak-arakan kan diiringi dzikir yang di ambil
dari kitab al barzanji dan di bawa ke
rumah penyimbang sebelum di boyong
kerumah pengantin laki-laki.
d. Cangget
Cangget merupakan prosesi adat yang
melibatkan pemuda pemudi atau
bujang gadis, berupa tari-tarian adat yang urutannya tari penglaku, penglaku
bapak-bapak, penglaku bujang, dan
penglaku gadis. kemudian tari untuk
pengantin perempuan namanya tari
pilangan dia menari dan dikelilingi oleh para
panitia wanita yaitu penglaku gadis.
Kemudian gadis-gadis yang ikut menari di
pulangkan kerumah untuk berganti
menggunakan pakaian biasa dan kembali lagi
ke
tempat cangget. Dilanjutkan denganngediaw yaitu pantun bersaut antara bujang
dan gadis tetapi mereka ada pemandunya dilakukan sampai menjelang subuh.
e. Pelaksanaan Turun Diway (Turun Air)
Pelaksanaan Turun Diway sama seperti
Begawi Cakak Pepadun yaitu
sama-sama memotong kerbau. Hanya satu
yang membedakannya, dalam Begawi
Cakak Pepadun semuanya serba lengkap baik
dari segi perlengkapan maupun
pelaksanaanya. Pada pelaksanaan turun
keair (Turun Diway) peralatan yang perlu
dipergunakan sebagai berikut :
·
Membawa payan (tombak yang ujungnya
terbuat dari besi dan gagang kayu berukuran satu meter setengah).
·
Hiasan tombak : Kendi, kelapa yang
bertunas, pisang raja, benang
dengan
macam-macam warna, kesemuaannya itu digabung menjadi
satu
lalu dibawa ke sungai dengan diiringi pendamping sultan.
·
Paccah aji dan kepala kerbau.
Mereka turun ke sungai
atau kali untuk mencuci kaki, apabila tidak ada
sungai
atau kali maka mereka merendamkan kakinya kedalam bak air yang telah
disediakan
dan diusap-usapkan air tersebut pada kedua belah kakinya, Kemudian duduk di
atas paccah aji dan menginjak kepala kerbau.
Maksud dari turun diway ini agar sultan
yang akan di nobatkan bersih lahir
batin dari semua kotoran yang terdapat
di dalam diri dan hilang terbawa air. Dan
menginjakan kaki diatas kepala kerbau
bahwa hawa-hawa binatang yang ada di
dalaam diri manusia harus dihilangkan
sehingga tidak menghambat perjalanan
rohaninya ketika berumah tangga.
f. Tigel Tari (menari)
Adat kebiasaan masyarakat jika diadakan pelaksanaan Begawi,
mereka mengadakan Tigel tari. Acara ini
dimaksudkan untuk menghibur
Punyimbang Marga berpasang-pasangan
dengan marga yang lainnya. Tigel tari
dibagi menjadi beberapa kelompok.Ttigel
punyimbang, tigel karib kerabat dan
tigel bujang gadis.Mereka menari menurut
kelompokya masing-masing.
g. Cakak Pepadun
Pelaksanaan Cakak Pepadun dilaksanakan
pada pagi hari pukul 08.00 WIB
sampai acara selsai. Apabila akan cakak
pepadun/ angkat nama berpangkat marga
maka pakaiannya serba putih memakai
payung putih, burung garuda diletakkan di
atas pepadun, payung gerebek diletakkan
dekat dengan payung putih, penyiku
kanan, penyiku kiri dan penenggau
mengiring ke atas pepadun lalu duduk dan
sultan menginjakkan kaki kerbau, mereka
berdua dikelilingi oleh kain putih yang
disebut lawang kuri adalah pembatas
tempat duduk sultan, bagi para prowatin
berembuk membicarakan hal-hal yang
berkenaan dengan acara begawi tentang
biaya-biaya (Pepadun), nama dan gelar
yang wajib disandang calon punyimbang
setelah selesai pangan toho dan prowatin
mengumumkan gelar sambil diselingi
bunyi tetabuhan canang. Dan setelah
selesai menunjuk salah satu wanita untuk
berpakuh (memukul dahi dengan gagang
kunci untuk adek sebagai nama
panggilan saudara terdekat, lalu
punyimbang yang telah dinobatkan di panggo
(diangkat) naik diatas nampan kuning
oleh penyiku, untuk memberikan petuah
petuah kepada pengikutnya baik bersifat
agama maupun aqidah dan dilanjutkan
dengan menyaliman ucapan selamat atau
baiah.
BAB IV
KESIMPULAN
Begawi adalah proses
pengambilan kedudukan kepunyimbangan dalam adat lampung lima kebuayan. Ada tiga
sebab melakukan begawi adat, yaitu:
Begawi nyusuk, begawi mancor zaman,
begawi pepadun kamah, Begawi Adat Miji/Begawi Adat Sendiri.
Pengertian Cakak
Pepadun
Setiap masyarakat Lampung pepadun yang
sudah melaksanakan tahapan-tahapan prosesi adat, mulai dari selamatan/ syukuran
( ruyang-ruyang), sunatan/ khitanan, tindik telinga dan meratakan gigi ( seghak
sepei), upacara adat, tarian dan arakan bujang gadis ( canggot agung sumbai
muli meghanai), peresmian pernikahan secara adat (ngughuk kebayan), mengenal
tempat mandi (tughun mandi), ganti nama sementara (ngini ghik ngamai adok), dan
puncak upacara adat adalah cakak pepadun.
Cakak Pepadun merupakan puncak dari
acara yang harus dilaksanakan untuk member informasi tentang pemegang tanggung
jawab dan yang memiliki hak adat kepada masyarakat. Mereka yang telah melalui
cakak pepadun, bergelar Suttan, gelar yang paling tinggi dalam masyarakat adat
pepadun. Mereka yang bergelar suttan wajib menjadi contoh teladan, berbudi
pekerti baik, tokoh masyarakat, tokoh yang menjadi panutan di lingkungan
masyarakat dan lingkungan desa sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Sabarrudin, Lampung Pepadun Dan
Saibatin/Pesisir, (Jakarta: way lima manjau, 2012) Diakses pada
1 Oktober 2018, 21.00
dham sirah gelar Suttan
Pesirah.Tokoh Adat Menggala Kota. Wawancara pada tanggal 25 Juli 2017 .Diakses
pada 1 Oktober 2018, 21.00
https://www.infokyai.com/2016/11/peralatan-dan-perlengkapan-cakak.html?m=1