BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Banyuwangi adalah
salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Di sana ada
sebuah etnik yang bernama Using. Di kalangan mereka,
khususnya yang berdiam di Dusun Krajan, Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh,
ada sebuah upacara tradisional yang sangat erat kaitannya dengan bidang
pertanian yang disebut sebagai “Kebo-keboan”. Maksud diadakannya upacara itu
adalah untuk meminta kesuburan tanah, panen melimpah, serta terhindar dari
malapetaka baik yang akan menimpa tanaman maupun manusia yang mengerjakannya.
Gambar 1.1 Peta Kabupaten Banyuwangi
Upacara adat
kebo-keboan mempunyai kedudukan yang penting bagi kehidupan masyarakat Using
Desa Alasmalang. Upacara adat kebo-keboan di Desa Alasmalang sudah mengalami
komodifikasi. Upacara adat kebo-keboan dalam pelaksanaannya terdapat tambahan
kesenian tradisional Banyuwangi yang lainnya. Kesenian tersebut antara lain; barong
ider bumi, kuntulan, damarulan/jinggoan, tari jejer gandrung, angklung dan
reog. Unsur-unsur upacara dalam upacara adat kebo-keboan adalah: berdoa,
bersaji, makan bersama makanan yang telah disucikan dengan doa, pawai ider
bumi. Pelaksanaan upacara adat kebo-keboan terbagi dalam tiga tahap yaitu tahap
pra acara atau persiapan, acara inti, dan tahap akhir atau penutup.
B.
Rumusan Masalah
- Bagaimana proses upacara adat kebo-keboan di
Banyuwangi?
- Apa nilai-nilai budaya yang terdapat pada
upacara adat Kebo-keboan masyarakat Banyuwangi?
C. Tujuan
Penelitian ini
bertujuan menganalisis terjadinya proses komodifikasi upacara
adat Kebo-keboan di Desa Alasmalang Kecamatan Singojuruh Kabupaten Banyuwangi dan melestarikan dengan cara memperkenalkan seni
kebudayaan yang ada di Desa Alasmalang Kecamatan Singojuruh Kabupaten
Banyuwangi. Dengan memberi pengetahuan tentang sejarah kebo-keboan, proses upacar
kebo-keboan dan nilai budaya pada pelaksanaan upacara kebo-keboan, serta unsur
pendidikan dan ekonomi dalam pelaksanaan upacara ritual kebo-keboan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Upacara
Kebo-keboan
Upacara adat
ritual kebo – keboan merupakan ragam seni budaya tradisi Banyuwangi yang masih
terjaga dan dilestarikan hingga sekarang, acara Adat yang dilaksankan setiap
satu tahun sekali tepatnya bulan Muharam atau Suro (penanggalan Jawa) yang
jatuh pada hari minggu antara tanggal 1 sampai 10 suro. Bulan ini diyakini
memiliki kekuatan magis. Konon, ritual ini muncul sejak abad ke-18. Di
Banyuwangi, kebo-keboan dilestarikan di dua tempat yakni di Desa Alasmalang,
Kecamatan Singojuruh, dan Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi. Ritual kebo-keboan
dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat desa setempat atas hasil
panen yang melimpah sekaligus sebagai upacara bersih desa, agar seluruh warga
diberi keselamatan.
Gambar 2.1 Pengarahan oleh Pawang
Munculnya ritual Kebo –
Keboan di desa Alasmalang berawal terjadinya musibah wabah penyakit pagebluk.
Kala itu, seluruh warga diserang penyakit. Hama juga menyerang tanaman. Banyak
warga kelaparan dan mati akibat wabah penyakit pagebluk melanda desa
Alasmalang. Mbah Karti sebagai sesepuh desa kala itu melakukan meditasi dan
mendapatkan “Wangsit” agar melaksanakan ritual selamatan desa dengan
ritual kebo-keboan dan mengagungkan Dewi Sri atau yang dipercainya sebagai
simbol kemakmuran, setelah ritual adat tersebut dilakukukan wabah tersebut pun
hilang. sampai akhirnya ritual ini terus diadakan dan kini masih
dilestarikan oleh warga Osing Banyuwangi (Ds.Alasmalang dan Ds.Aliyan). Ritual
ini terbagi menjadi beberapa tahapan dalam pelaksanaanya, tahapan tahapan
tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :
Tujuh hari sebelum
pelaksanaan sang pawang yang merupakan keturunan buyut Karti melakukan
meditasi, meditasi dilaksanakan di beberapa tempat keramat yaitu, di Watu Loso
(sebuah batu yang berbentuk seperti tikar), Watu Gajah (batu yang berbentuk
seperti gajah) dan Watu Tumpeng (batu yang berbentuk seperti tumpeng). Selamatan
di Petahunan.
Ider Bumi atau Arak
– Arakan mengelilingi desa dan menuju ke sebuah bendungan yang dibuka sehingga
air mengaliri jalanan yang telah ditanami palawija. Aroma kemenyan tercium
sesaat lepas dupa dibakar menemani hingga proses ritual
selesai. Ritual Kebo – Keboan yang dilaksanakan di daerah persawahan Dusun
Krajan. Pelaksanaan upacara adat ini melibatkan berbagai element masyarakat
diantaranya :
Pemimpin Upacara (Pawang) yang merupakan pelaksana adat yang
merupakan keturunan dari Mbah Buyut Karti. Dalam Upacara ini, ada kyai yang
juga dijadikan pemimpin upacara saat prosesi pembacaan doa. Penjelmaan Dewi
Sri, merupakan simbolis dari kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan Dewi
Sri. Perempuan yang memerankan Dewi Sri harus memiliki syarat-syarat tertentu.
Apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, maka pelaksanaan upacara tersebut
tidak akan tercapai. Syarat-syaratnya adalah: Masih keturunan Mbah Buyut Karti,
Perawan / Gadis, Berperilaku Baik, Memiliki Wajah yang rupawan.
Dayang Pengiring
Dewi Sri, Merupakan Para Gadis dari Desa Krajan yang memiliki criteria seperti
Dewi Sri. Para Dayang bertugas membawa peras dan sesaji yang digunakan untuk
pelaksanaan pawai ider bumi. Kebo-keboan, merupakan pelaksana setiap tahapan
dalam pelaksanaan upacara, yang memiliki criteria Berbadan besar,
sehat, kuat dan masih keturunan Mbaj Buyut Karti. Kebo-keboan ini berjumlah
lima sampai sepuluh Pasang, satu pasang berjumlah tiga yaitu dua kerbau dan
satu pengendali. Para Petani, terlibat saat melaksanakan ider Bumi. Buldrah,
merupakan tokoh yang bertugas memimpin pelaksanaan kirab ider bumi. Yang di
pilih adalah yang memiliki keahlian dibidang pertanian, dan biasanya merupakan
penggerak warga dibidang pertanian. Modin Banyu, merupakan seorang yang
mempunyai tugas sehari-hari yang mengatur sistim pengairan. Peralatan yang
dipersiakan dalam pelaksanaan upacara adat kebo – keboan adalah sebagai berikut
: Peralatan Upacara adat:
Peralatan
Pertanian, peralatan ini digunakan karena upacara adat ini berlatarbelakang
tradisi masyarakat agraris, maka berbagai perlengkapan yang digunakan adalah:
singkal, teter, pecut, sabit, cangkul, dan cingkek. Songsong, merupakan payung
besar yang digunakan untuk memayungi dewi sri, agar tidak tersengat terik
matahari.
Sesaji, merupakan
syarat terpenting dari tradisi ini yang apabila sesaji kurang, maka upacara
yang dilaksanakan tidak sempurna. Sesaji diantaranya berupa peras, tumpeng
agung, jenang Abang (bubur Merah), Bubur Putih, Bubur Kuning, Bubur
Hitam, Bubur hijau / biru, peteteng, kendi, daun pisang, kemenyan, dan beras petung
tawar. Tandu (tempat duduk Dewi Sri), Tandu ini digunakan untuk tempat
duduk Dewi Sri saat prosesi adat.
Gambar 2.2 Ilustrasi Kebo-keboan di Sawah
Ritual kebo-keboan
digelar setahun sekali pada bulan Muharam atau Suro (penanggalan Jawa). Bulan
ini diyakini memiliki kekuatan magis. Konon, ritual ini muncul sejak abad
ke-18. Di Banyuwangi, kebo-keboan dilestarikan di dua tempat yakni di Desa
Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, dan Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi.
Munculnya ritual
kebo-keboan di Alasmalang berawal terjadinya musibah pagebluk (epidemi - red ).
Kala itu, seluruh warga diserang penyakit. Hama juga menyerang tanaman. Banyak
warga kelaparan dan mati akibat penyakit misterius. Dalam kondisi genting itu,
sesepuh desa yang bernama Mbah Karti melakukan meditasi di bukit. Selama
meditasi, tokoh yang disegani ini mendapatkan wangsit. Isinya, warga disuruh
menggelar ritual kebo-keboan dan mengagungkan Dewi Sri atau yang dipercainya
sebagai simbol kemakmuran.
Keajaiban muncul
ketika warga menggelar ritual kebo-keboan. Warga yang sakit mendadak sembuh.
Hama yang menyerang tanaman padi sirna. Sejak itu, ritual kebo-keboan
dilestarikan. Mereka takut terkena musibah jika tidak melaksanakannya.
Proses Upacara Kebo-keboan
Upacara kebo-kebon
di Dusun Krajan dilaksanakan satu kali dalam satu tahun yang jatuh pada hari
Minggu antara tanggal 1 sampai 10 Sura (tanpa melihat hari pasaran). Dipilihnya
hari minggu sebagai hari penyelenggaraan dengan pertimbangan bahwa pada hari
tersebut masyarakat sedang tidak bekerja (libur), sehingga dapat mengikuti
jalannya upacara. Sedangkan, dipilihnya bulan Sura dengan pertimbangan bahwa
Sura, menurut kepercayaan sebagian masyarakat Jawa, adalah bulan yang keramat.
Gambar 2.3 Ilustrasi Kebo-keboan dan Petani
Satu minggu
menjelang waktu upacara kebo-keboan tiba, warga masyarakat yang berada di Dusun
Krajan mengadakan kegiatan gotong royong untuk membersihkan lingkungan rumah
dan dusunnya. Selanjutnya, satu hari menjelang pelaksanaan upacara, para ibu
bersama-sama mempersiapkan sesajen yang terdiri atas: tumpeng, peras, air
kendi, kinang ayu, aneka jenang, inkung ayam dan lain sebagainya. Selain itu,
dipersiapkan pula berbagai perlengkapan upacara seperti para bungkil, singkal,
pacul, pera, pitung tawar, beras, pisang, kelapa dan bibit tanaman padi.
Seluruh sesajen tersebut selain untuk acara selamatan, nantinya juga akan
ditempatkan di setiap perempatan jalan yang ada di Dusun Krajan.
Pada malam harinya
para pemuda menyiapkan berbagai macam hasil tanaman palawija seperti pisang,
tebu, ketela pohon, jagung, pala gumantung, pala kependhem, pala kesimpar.
Tanaman tersebut kemudian ditanam kembali di sepanjang jalan Dusun Krajan. Selain
itu, mereka mempersiapkan pula bendungan yang nantinya akan digunakan untuk
mengairi tanaman palawija yang ditanam.
Pagi harinya,
sekitar pukul 08.00, diadakan upacara di Petaunan yang dihadiri oleh panitia
upacara, sesepuh dusun, modin, dan beberapa warga masyarakat Krajan.
Pelaksanaan upacara di tempat ini berlangsung cukup sederhana, yaitu hanya
berupa kata sambutan dari pihak panitia upacara, kemudian dilanjutkan dengan
doa yang dipimpin oleh modin dan diakhiri dengan makan bersama.
Selanjutnya, para
peserta upacara yang terdiri dari para sesepuh dusun, seorang pawang, perangkat
dusun, dua pasang kebo-keboan (setiap kebo-keboan berjumlah dua orang), para
pembawa sesajen, pemain musik hadrah, pemain barongan dan warga Dusun Krajan
akan melakukan pawai ider bumi mengeliling Dusun Krajan. Pawai ini dimulai di
Petaunan kemudian menuju ke bendungan air yang berada di ujung jalan Dusun
Krajan. Sesampainya di bendungan, jagatirta (petugas pengatur air) akan segera
membuka bendungan sehingga air mengalir ke sepanjang jalan dusun yang
sebelumnya telah ditanami tanaman palawija oleh para pemuda. Sementara, para
peserta upacara segera menuju ke areal persawahan milik warga Dusun Krajan. Di
persawahan inilah kebo-keboan tersebut memulai memperlihatkan perilakunya yang
mirip seperti seekor kerbau yang sedang membajak atau berkubang di sawah. Pada
saat kebo-keboan sedang berkubang, sebagian peserta upacara segera turun ke
sawah untuk menanam benih padi.
Gambar 2.4 Ilustrasi Dewi Sri dan Para Kebo-keboan
Setelah benih
tertanam, para peserta yang lain segera berebut untuk mengambil benih padi yang
baru ditanam tersebut. Benih-benih yang baru ditanam itu dipercaya oleh warga
masyarakat Dusun Krajan dapat dijadikan sebagai penolak bala, mendatangkan
keberuntungan serta membawa berkah. Pada saat para peserta memperebutkan benih
tersebut, para kebo-keboan yang sebelumnya telah dimantrai oleh pawang sehingga
menjadi trance, akan segera mengejar para pengambil benih yang dianggap sebagai
pengganggu. Namun, para kebo-keboan itu tidak sampai mencelakai para pengambil
benih karena sang pawang selalu mengawasi setiap geraknya. Setelah dirasa
cukup, maka sang pawang akan menyadarkan kebo-keboan dengan cara mengusapkan
pitung tawar pada bagian kepalanya. Setelah itu, mereka kembali lagi ke
Petaunan.
Sesampainya di
Petaunan, peserta upacara kembali ke rumah masing-masing sambil membawa padi
yang tadi mereka ambil di sawah untuk dijadikan sebagai penolak bala dan juga
sekaligus pembawa berkah. Malam harinya, mereka kembali lagi ke Petaunan untuk
menyaksikan pagelaran wayang kulit dengan lakon Sri Mulih yang mengisahkan
tentang Dewi Sri. Lakon tersebut dipentaskan dengan harapan agar warga Dusun
Krajan mendapatkan hasil panen padi yang melimpah. Dan, dengan dipentaskannya
kesenian wayang kulit di Petaunan itu, maka berakhirlah seluruh rentetan dalam
upacara kebo-keboan di Desa Alasmalang Kecamatan Singojuru h Kabupaten
Banyuwangi.
B. Nilai Budaya
Upacara kebo-keboan
di Dusun Krajan, Desa Alasmalang, Kabupaten Banyuwangi, jika dicermati secara
mendalam, mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai
acuan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu antara lain adalah:
kebersamaan, ketelitian, gotong royong, dan religius. Nilai kebersamaan
tercermin dari berkumpulnya sebagian besar anggota masyarakat dalam suatu
tempat, makan bersama dan doa bersama demi keselamatan bersama pula. Ini adalah
wujud kebersamaan dalam hidup bersama di dalam lingkungannya (dalam arti luas).
Oleh karena itu, upacara ini mengandung pula nilai kebersamaan. Dalam hal ini,
kebersamaan sebagai komunitas yang mempunyai wilayah, adat-istiadat dan budaya
yang sama.
Gambar 2.5 Slametan Upacara Kebo-keboan
Nilai ketelitian
tercermin dari proses upacara itu sendiri. Sebagai suatu proses, upacara
memerlukan persiapan, baik sebelum upacara, pada saat prosesi, maupun
sesudahnya. Persiapan-persiapan itu, tidak hanya menyangkut peralatan upacara,
tetapi juga tempat, waktu, pemimpin, dan peserta. Semuanya itu harus
dipersiapkan dengan baik dan seksama, sehingga upacara dapat berjalan dengan
lancar. Untuk itu, dibutuhkan ketelitian.
Nilai
kegotong-royongan tercermin dari keterlibatan berbagai pihak dalam
penyelenggaraan upacara. Mereka saling bantu demi terlaksananya upacara. Dalam
hal ini ada yang membantu menyiapkan makanan dan minuman, menjadi pemimpin
upacara, dan lain sebagainya.
Nilai religius tercermin dalam doa bersama yang ditujukan kepada
Tuhan agar mendapat perlindungan, keselataman dan kesejahteraan dalam menjalani
kehidupan.
C. Unsur Pendidikan dan
Ekonomi
Unsur pendidikan yang terkandung dalam kebudayaan
kebo-keboan ini adalah kekeluargaan, ekonomi dan religi.Unsur kekeluargaan
karena dalam upacara adat kebo-keboan banyak melibatkan banyak orang dari
berbagai kalangan, sehingga menumbuhkn rasa gotong royong dan solidaritas antar
warga yang menjadi bagian dalam upacara adat ini.
Gambar 2.6 Ilustrasi Dewi Sri
Unsur ekonomi karena dana yang dibutuhkan untuk upacara
ini tidak sedikit maka banyak sumbangan yang diberikan oleh pemerintah
banyuwangi dan dari sponsor lainnya dan hasil dari upacara ini dibuat untuk
membangun desa serta diberikan kepada warga sekitar yang membutuhkan dan anak
yatim piatu, tidak lupa sebagian hasil dari upacara adat kebo-keboan juga masuk
ke dalam kas keuangan kabupaten Banyuwangi. Sedangkan unsur pendidikan religi
karena adanya ritual-ritual dalam upacara ini, seperti berdoa, bersaji, makan
bersama makanan yang telah disucikan dengan doa.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ritual Kebo-Keboan adalah salah satu ragam seni budaya
tradisi Banyuwangi disamping Ritual Seblang, Petik Laut, Rebo Pungkasan, Endog-endogan,
Barong Ider Bumi yang telah diagendakan secara rutin oleh Pemerintah Kabupaten
Banyuwangi. "Kebudayaan berbasis lokal yang bernilai luhur ini akan tetap
kita lestarikan dengan penataan yang lebih komprehensif dan suistanable agar
menumbuhkan rasa apresiatif masyarakat terhadap nilai-nilai tradisi,"
ungkap drh H Budianto, Msi, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten
Banyuwangi.
Penerapan
kebudayaan kebo-keboan ini yang diajarkan dalam sekolah adalah bagaimana kita
sebagai makhluk bumi harus menjaga dan merawat semua hasil bumi agar tidak ada
wabah penyakit yang datang akibat ulah manusia.
Secara garis besar,
upacara adat Kebo-keboan adalah bentuk rasa syukur warga desa Alasmalang kepada
bumi. Selama ini, bumi dinilai telah memberikan banyak hal bagi kehidupan warga
desa itu. Mulai tanah yang subur dan mudah ditanami, cuaca yang mendukung,
hingga dataran yang indah. Belum lagi harmoni kehidupan semua makhluk hidup di
kawasan itu yang tertata harmonis. Kebo-keboan merupakan salah satu aset upacara
tradisi yang dimiliki Banyuwangi. Kita sebagai masyarakat harus mendukung dan
ikut melestarikan kebudayaan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Purwaningsih, Ernawati. 2007. “Kebo-keboan, Aset Budaya di Kabupaten Banyuwangi”, dalam Jantra Vol. 2 No. 4. Desember 2007. Yogyakarta:
Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta.
Wahjudi Pantja Sunjata, 2007. Fungsi dan Makna Upacara Tradisional
Kebo-keboan. Yogyakarta: Eja Publisher.
Nugroho, D Imam. (2010). Kebo-keboan Banyuwangi. Diakses pada 16
agustus 2010 pada http://dotcomcell.com/BANYUWANGIONLINE/KEBOKEBOAN/
Nurullah, Ahmad. (2009). Tradisi Kebo-keboan Ritual Khas
Jawa Using. Diakses pada 16 agustus
2010
pada http://www.forumbudaya.org/index.php
No comments:
Post a Comment