Sunday, April 5, 2020

Tradisi Kebo-Keboan, Masyarakat Banyuwangi, Jawa Timur


BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
            Banyuwangi adalah salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Di sana ada sebuah etnik yang bernama Using. Di kalangan mereka, khususnya yang berdiam di Dusun Krajan, Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, ada sebuah upacara tradisional yang sangat erat kaitannya dengan bidang pertanian yang disebut sebagai “Kebo-keboan”. Maksud diadakannya upacara itu adalah untuk meminta kesuburan tanah, panen melimpah, serta terhindar dari malapetaka baik yang akan menimpa tanaman maupun manusia yang mengerjakannya.

Gambar 1.1 Peta Kabupaten Banyuwangi
            Upacara adat kebo-keboan mempunyai kedudukan yang penting bagi kehidupan masyarakat Using Desa Alasmalang. Upacara adat kebo-keboan di Desa Alasmalang sudah mengalami komodifikasi. Upacara adat kebo-keboan dalam pelaksanaannya terdapat tambahan kesenian tradisional Banyuwangi yang lainnya. Kesenian tersebut antara lain; barong ider bumi, kuntulan, damarulan/jinggoan, tari jejer gandrung, angklung dan reog. Unsur-unsur upacara dalam upacara adat kebo-keboan adalah: berdoa, bersaji, makan bersama makanan yang telah disucikan dengan doa, pawai ider bumi. Pelaksanaan upacara adat kebo-keboan terbagi dalam tiga tahap yaitu tahap pra acara atau persiapan, acara inti, dan tahap akhir atau penutup.

B.       Rumusan Masalah
  1. Bagaimana proses upacara adat kebo-keboan di Banyuwangi?
  2. Apa nilai-nilai budaya yang terdapat pada upacara adat Kebo-keboan masyarakat Banyuwangi?

C.    Tujuan
            Penelitian ini  bertujuan menganalisis  terjadinya  proses  komodifikasi upacara adat Kebo-keboan  di Desa Alasmalang Kecamatan Singojuruh Kabupaten Banyuwangi dan   melestarikan dengan cara memperkenalkan seni kebudayaan yang ada di Desa Alasmalang Kecamatan Singojuruh Kabupaten Banyuwangi. Dengan memberi pengetahuan tentang sejarah kebo-keboan, proses upacar kebo-keboan dan nilai budaya pada pelaksanaan upacara kebo-keboan, serta unsur pendidikan dan ekonomi dalam pelaksanaan upacara ritual kebo-keboan.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Upacara Kebo-keboan
             Upacara adat ritual kebo – keboan merupakan ragam seni budaya tradisi Banyuwangi yang masih terjaga dan dilestarikan hingga sekarang, acara Adat yang dilaksankan setiap satu tahun sekali tepatnya bulan Muharam atau Suro (penanggalan Jawa) yang jatuh pada hari minggu antara tanggal 1 sampai 10 suro. Bulan ini diyakini memiliki kekuatan magis. Konon, ritual ini muncul sejak abad ke-18. Di Banyuwangi, kebo-keboan dilestarikan di dua tempat yakni di Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, dan Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi. Ritual kebo-keboan dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat desa setempat atas hasil panen yang melimpah sekaligus sebagai upacara bersih desa, agar seluruh warga diberi keselamatan.

Gambar 2.1 Pengarahan oleh Pawang
          Munculnya ritual Kebo – Keboan di desa Alasmalang berawal terjadinya musibah wabah penyakit pagebluk. Kala itu, seluruh warga diserang penyakit. Hama juga menyerang tanaman. Banyak warga kelaparan dan mati akibat wabah penyakit pagebluk melanda desa Alasmalang. Mbah Karti sebagai sesepuh desa kala itu melakukan meditasi dan mendapatkan “Wangsit”  agar melaksanakan ritual selamatan desa dengan ritual kebo-keboan dan mengagungkan Dewi Sri atau yang dipercainya sebagai simbol kemakmuran, setelah ritual adat tersebut dilakukukan wabah tersebut pun hilang. sampai akhirnya ritual ini terus diadakan dan  kini masih dilestarikan oleh warga Osing Banyuwangi (Ds.Alasmalang dan Ds.Aliyan). Ritual ini terbagi menjadi beberapa tahapan dalam pelaksanaanya,  tahapan tahapan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :
            Tujuh hari sebelum pelaksanaan sang pawang yang merupakan keturunan buyut Karti melakukan meditasi, meditasi dilaksanakan di beberapa tempat keramat yaitu, di Watu Loso (sebuah batu yang berbentuk seperti tikar), Watu Gajah (batu yang berbentuk seperti gajah) dan Watu Tumpeng (batu yang berbentuk seperti tumpeng). Selamatan di Petahunan.
            Ider Bumi atau Arak – Arakan mengelilingi desa dan menuju ke sebuah bendungan yang dibuka sehingga air mengaliri jalanan yang telah ditanami palawija. Aroma kemenyan tercium sesaat lepas dupa dibakar  menemani hingga   proses ritual selesai. Ritual Kebo – Keboan yang dilaksanakan di daerah persawahan Dusun Krajan. Pelaksanaan upacara adat ini melibatkan berbagai element masyarakat diantaranya :
Pemimpin Upacara (Pawang) yang merupakan pelaksana adat yang merupakan keturunan dari Mbah Buyut Karti. Dalam Upacara ini, ada kyai yang juga dijadikan pemimpin upacara saat prosesi pembacaan doa. Penjelmaan Dewi Sri, merupakan simbolis dari kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan Dewi Sri. Perempuan yang memerankan Dewi Sri harus memiliki syarat-syarat tertentu. Apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, maka pelaksanaan upacara tersebut tidak akan tercapai. Syarat-syaratnya adalah: Masih keturunan Mbah Buyut Karti, Perawan / Gadis, Berperilaku Baik, Memiliki Wajah yang rupawan.
            Dayang Pengiring Dewi Sri, Merupakan Para Gadis dari Desa Krajan yang memiliki criteria seperti Dewi Sri. Para Dayang bertugas membawa peras dan sesaji yang digunakan untuk pelaksanaan pawai ider bumi. Kebo-keboan, merupakan pelaksana setiap tahapan dalam pelaksanaan upacara, yang memiliki criteria Berbadan besar, sehat, kuat dan masih keturunan Mbaj Buyut Karti. Kebo-keboan ini berjumlah lima sampai sepuluh Pasang, satu pasang berjumlah tiga yaitu dua kerbau dan satu pengendali. Para Petani, terlibat saat melaksanakan ider Bumi. Buldrah, merupakan tokoh yang bertugas memimpin pelaksanaan kirab ider bumi. Yang di pilih adalah yang memiliki keahlian dibidang pertanian, dan biasanya merupakan penggerak warga dibidang pertanian. Modin Banyu, merupakan seorang yang mempunyai tugas sehari-hari yang mengatur sistim pengairan. Peralatan yang dipersiakan dalam pelaksanaan upacara adat kebo – keboan adalah sebagai berikut : Peralatan Upacara adat:
            Peralatan Pertanian, peralatan ini digunakan karena upacara adat ini berlatarbelakang tradisi masyarakat agraris, maka berbagai perlengkapan yang digunakan adalah: singkal, teter, pecut, sabit, cangkul, dan cingkek. Songsong, merupakan payung besar yang digunakan untuk memayungi dewi sri, agar tidak tersengat terik matahari.
            Sesaji, merupakan syarat terpenting dari tradisi ini yang apabila sesaji kurang, maka upacara yang dilaksanakan tidak sempurna. Sesaji diantaranya berupa peras, tumpeng agung, jenang Abang (bubur Merah), Bubur Putih,  Bubur Kuning, Bubur Hitam, Bubur hijau / biru, peteteng, kendi, daun pisang, kemenyan, dan beras petung tawar. Tandu (tempat duduk Dewi Sri), Tandu ini digunakan untuk tempat duduk Dewi Sri saat prosesi adat.

Gambar 2.2 Ilustrasi Kebo-keboan di Sawah
            Ritual kebo-keboan digelar setahun sekali pada bulan Muharam atau Suro (penanggalan Jawa). Bulan ini diyakini memiliki kekuatan magis. Konon, ritual ini muncul sejak abad ke-18. Di Banyuwangi, kebo-keboan dilestarikan di dua tempat yakni di Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, dan Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi.
            Munculnya ritual kebo-keboan di Alasmalang berawal terjadinya musibah pagebluk (epidemi - red ). Kala itu, seluruh warga diserang penyakit. Hama juga menyerang tanaman. Banyak warga kelaparan dan mati akibat penyakit misterius. Dalam kondisi genting itu, sesepuh desa yang bernama Mbah Karti melakukan meditasi di bukit. Selama meditasi, tokoh yang disegani ini mendapatkan wangsit. Isinya, warga disuruh menggelar ritual kebo-keboan dan mengagungkan Dewi Sri atau yang dipercainya sebagai simbol kemakmuran.
            Keajaiban muncul ketika warga menggelar ritual kebo-keboan. Warga yang sakit mendadak sembuh. Hama yang menyerang tanaman padi sirna. Sejak itu, ritual kebo-keboan dilestarikan. Mereka takut terkena musibah jika tidak melaksanakannya.

Proses Upacara Kebo-keboan
            Upacara kebo-kebon di Dusun Krajan dilaksanakan satu kali dalam satu tahun yang jatuh pada hari Minggu antara tanggal 1 sampai 10 Sura (tanpa melihat hari pasaran). Dipilihnya hari minggu sebagai hari penyelenggaraan dengan pertimbangan bahwa pada hari tersebut masyarakat sedang tidak bekerja (libur), sehingga dapat mengikuti jalannya upacara. Sedangkan, dipilihnya bulan Sura dengan pertimbangan bahwa Sura, menurut kepercayaan sebagian masyarakat Jawa, adalah bulan yang keramat.         
           


Gambar 2.3 Ilustrasi Kebo-keboan dan Petani
            Satu minggu menjelang waktu upacara kebo-keboan tiba, warga masyarakat yang berada di Dusun Krajan mengadakan kegiatan gotong royong untuk membersihkan lingkungan rumah dan dusunnya. Selanjutnya, satu hari menjelang pelaksanaan upacara, para ibu bersama-sama mempersiapkan sesajen yang terdiri atas: tumpeng, peras, air kendi, kinang ayu, aneka jenang, inkung ayam dan lain sebagainya. Selain itu, dipersiapkan pula berbagai perlengkapan upacara seperti para bungkil, singkal, pacul, pera, pitung tawar, beras, pisang, kelapa dan bibit tanaman padi. Seluruh sesajen tersebut selain untuk acara selamatan, nantinya juga akan ditempatkan di setiap perempatan jalan yang ada di Dusun Krajan.
            Pada malam harinya para pemuda menyiapkan berbagai macam hasil tanaman palawija seperti pisang, tebu, ketela pohon, jagung, pala gumantung, pala kependhem, pala kesimpar. Tanaman tersebut kemudian ditanam kembali di sepanjang jalan Dusun Krajan. Selain itu, mereka mempersiapkan pula bendungan yang nantinya akan digunakan untuk mengairi tanaman palawija yang ditanam.
            Pagi harinya, sekitar pukul 08.00, diadakan upacara di Petaunan yang dihadiri oleh panitia upacara, sesepuh dusun, modin, dan beberapa warga masyarakat Krajan. Pelaksanaan upacara di tempat ini berlangsung cukup sederhana, yaitu hanya berupa kata sambutan dari pihak panitia upacara, kemudian dilanjutkan dengan doa yang dipimpin oleh modin dan diakhiri dengan makan bersama.
            Selanjutnya, para peserta upacara yang terdiri dari para sesepuh dusun, seorang pawang, perangkat dusun, dua pasang kebo-keboan (setiap kebo-keboan berjumlah dua orang), para pembawa sesajen, pemain musik hadrah, pemain barongan dan warga Dusun Krajan akan melakukan pawai ider bumi mengeliling Dusun Krajan. Pawai ini dimulai di Petaunan kemudian menuju ke bendungan air yang berada di ujung jalan Dusun Krajan. Sesampainya di bendungan, jagatirta (petugas pengatur air) akan segera membuka bendungan sehingga air mengalir ke sepanjang jalan dusun yang sebelumnya telah ditanami tanaman palawija oleh para pemuda. Sementara, para peserta upacara segera menuju ke areal persawahan milik warga Dusun Krajan. Di persawahan inilah kebo-keboan tersebut memulai memperlihatkan perilakunya yang mirip seperti seekor kerbau yang sedang membajak atau berkubang di sawah. Pada saat kebo-keboan sedang berkubang, sebagian peserta upacara segera turun ke sawah untuk menanam benih padi.


Gambar 2.4 Ilustrasi Dewi Sri dan Para Kebo-keboan
            Setelah benih tertanam, para peserta yang lain segera berebut untuk mengambil benih padi yang baru ditanam tersebut. Benih-benih yang baru ditanam itu dipercaya oleh warga masyarakat Dusun Krajan dapat dijadikan sebagai penolak bala, mendatangkan keberuntungan serta membawa berkah. Pada saat para peserta memperebutkan benih tersebut, para kebo-keboan yang sebelumnya telah dimantrai oleh pawang sehingga menjadi trance, akan segera mengejar para pengambil benih yang dianggap sebagai pengganggu. Namun, para kebo-keboan itu tidak sampai mencelakai para pengambil benih karena sang pawang selalu mengawasi setiap geraknya. Setelah dirasa cukup, maka sang pawang akan menyadarkan kebo-keboan dengan cara mengusapkan pitung tawar pada bagian kepalanya. Setelah itu, mereka kembali lagi ke Petaunan.
            Sesampainya di Petaunan, peserta upacara kembali ke rumah masing-masing sambil membawa padi yang tadi mereka ambil di sawah untuk dijadikan sebagai penolak bala dan juga sekaligus pembawa berkah. Malam harinya, mereka kembali lagi ke Petaunan untuk menyaksikan pagelaran wayang kulit dengan lakon Sri Mulih yang mengisahkan tentang Dewi Sri. Lakon tersebut dipentaskan dengan harapan agar warga Dusun Krajan mendapatkan hasil panen padi yang melimpah. Dan, dengan dipentaskannya kesenian wayang kulit di Petaunan itu, maka berakhirlah seluruh rentetan dalam upacara kebo-keboan di Desa Alasmalang Kecamatan Singojuru h Kabupaten Banyuwangi.

B.     Nilai Budaya
            Upacara kebo-keboan di Dusun Krajan, Desa Alasmalang, Kabupaten Banyuwangi, jika dicermati secara mendalam, mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu antara lain adalah: kebersamaan, ketelitian, gotong royong, dan religius. Nilai kebersamaan tercermin dari berkumpulnya sebagian besar anggota masyarakat dalam suatu tempat, makan bersama dan doa bersama demi keselamatan bersama pula. Ini adalah wujud kebersamaan dalam hidup bersama di dalam lingkungannya (dalam arti luas). Oleh karena itu, upacara ini mengandung pula nilai kebersamaan. Dalam hal ini, kebersamaan sebagai komunitas yang mempunyai wilayah, adat-istiadat dan budaya yang sama.

Gambar 2.5 Slametan Upacara Kebo-keboan
            Nilai ketelitian tercermin dari proses upacara itu sendiri. Sebagai suatu proses, upacara memerlukan persiapan, baik sebelum upacara, pada saat prosesi, maupun sesudahnya. Persiapan-persiapan itu, tidak hanya menyangkut peralatan upacara, tetapi juga tempat, waktu, pemimpin, dan peserta. Semuanya itu harus dipersiapkan dengan baik dan seksama, sehingga upacara dapat berjalan dengan lancar. Untuk itu, dibutuhkan ketelitian.
            Nilai kegotong-royongan tercermin dari keterlibatan berbagai pihak dalam penyelenggaraan upacara. Mereka saling bantu demi terlaksananya upacara. Dalam hal ini ada yang membantu menyiapkan makanan dan minuman, menjadi pemimpin upacara, dan lain sebagainya.
Nilai religius tercermin dalam doa bersama yang ditujukan kepada Tuhan agar mendapat perlindungan, keselataman dan kesejahteraan dalam menjalani kehidupan.

C.    Unsur Pendidikan dan Ekonomi
Unsur pendidikan yang terkandung dalam kebudayaan kebo-keboan ini adalah kekeluargaan, ekonomi dan religi.Unsur kekeluargaan karena dalam upacara adat kebo-keboan banyak melibatkan banyak orang dari berbagai kalangan, sehingga menumbuhkn rasa gotong royong dan solidaritas antar warga yang menjadi bagian dalam upacara adat ini.


Gambar 2.6 Ilustrasi Dewi Sri 
Unsur ekonomi karena dana yang dibutuhkan untuk upacara ini tidak sedikit maka banyak sumbangan yang diberikan oleh pemerintah banyuwangi dan dari sponsor lainnya dan hasil dari upacara ini dibuat untuk membangun desa serta diberikan kepada warga sekitar yang membutuhkan dan anak yatim piatu, tidak lupa sebagian hasil dari upacara adat kebo-keboan juga masuk ke dalam kas keuangan kabupaten Banyuwangi. Sedangkan unsur pendidikan religi karena adanya ritual-ritual dalam upacara ini, seperti berdoa, bersaji, makan bersama makanan yang telah disucikan dengan doa.

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Ritual Kebo-Keboan adalah salah satu ragam seni budaya tradisi Banyuwangi disamping Ritual Seblang, Petik Laut, Rebo Pungkasan, Endog-endogan, Barong Ider Bumi yang telah diagendakan secara rutin oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. "Kebudayaan berbasis lokal yang bernilai luhur ini akan tetap kita lestarikan dengan penataan yang lebih komprehensif dan suistanable agar menumbuhkan rasa apresiatif masyarakat terhadap nilai-nilai tradisi," ungkap drh H Budianto, Msi, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi.
            Penerapan kebudayaan kebo-keboan ini yang diajarkan dalam sekolah adalah bagaimana kita sebagai makhluk bumi harus menjaga dan merawat semua hasil bumi agar tidak ada wabah penyakit yang datang akibat ulah manusia.
            Secara garis besar, upacara adat Kebo-keboan adalah bentuk rasa syukur warga desa Alasmalang kepada bumi. Selama ini, bumi dinilai telah memberikan banyak hal bagi kehidupan warga desa itu. Mulai tanah yang subur dan mudah ditanami, cuaca yang mendukung, hingga dataran yang indah. Belum lagi harmoni kehidupan semua makhluk hidup di kawasan itu yang tertata harmonis. Kebo-keboan merupakan salah satu aset upacara tradisi yang dimiliki Banyuwangi. Kita sebagai masyarakat harus mendukung dan ikut melestarikan kebudayaan ini.
           
DAFTAR PUSTAKA

Purwaningsih, Ernawati. 2007. “Kebo-keboan, Aset Budaya di Kabupaten Banyuwangi”, dalam Jantra Vol. 2 No. 4. Desember 2007. Yogyakarta: Balai    Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta.
Wahjudi Pantja Sunjata, 2007. Fungsi dan Makna Upacara Tradisional Kebo-keboan.        Yogyakarta: Eja Publisher.
Nugroho, D Imam. (2010). Kebo-keboan Banyuwangi. Diakses pada 16 agustus 2010       pada http://dotcomcell.com/BANYUWANGIONLINE/KEBOKEBOAN/
Nurullah, Ahmad. (2009). Tradisi Kebo-keboan Ritual Khas Jawa Using. Diakses  pada 16 agustus


No comments:

Post a Comment

Tradisi Kebo-Keboan, Masyarakat Banyuwangi, Jawa Timur

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang             Banyuwangi adalah salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Di ...