Thursday, March 5, 2020

MAKALAH BEGAWI CAKAK PEPADUN


BAB 1
PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang Masalah

Kearifan lingkungan atau kearifan lokal masyarakat sudah ada di dalam kehidupan masyarakat sejak zaman dahulu mulai dari zaman prasejarah hingga saat ini, kearifan lingkungan merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama,adat istiadat petuah nenek moyang atau budaya setempat (Wietoler dalam Akbar, 2006) yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, perilaku ini berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah dan akan berkembang secara turun-menurun.
Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung didalamnya dianggap sangat universal. Secara umum, budaya lokal atau budaya daerah dimaknai sebagai budaya yang berkembang di suatu daerah, yang unsur-unsurnya adalah suku bangsa yang ada di daerah itu.
Kearifan lokal atau local wisdom atau genius lokal kini semakin penting untuk didalami, berkenaan dengan rencana Pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan karakter bangsa dan ekonomi kreatif.
Masing-masing daerah memiliki kearifan lokal.
Letak geografis dan perjalanan sejarah politik suatu daerah melahirkan kearifan lokal yang berkembang didaerah tersebut.



 Demikian juga halnya dengan daerah Lampung, akibat letak geografis dan perjalanan sejarah politik masa lalu serta kontak budaya yang selama itu terjadi, telah melahirkan kearifan lokal yang telah berhasil menghantar kan masyarakat Lampung ke era sekarang. Kearifan lokal adalah sesuatu yang bernilai dan disepakati untuk dijadikan pegangan bersama sehingga tetap tertanam dalam waktu yang sedemikian lama
Cakak pepadun adalah sebuah upacara atau gawi dari masyarakat lampung. Gawi ini di lakukan pada orang yang sudah cukup umur.
            Di makalah ini di sajikan pengertian-pengertian dan tata cara adat cakak pepadun agar memberikan pengetahuan dan manfaat bagi pembaca. Dapat sebagai sarana dan pedoman bagi pembaca yang tidak tau aturan-aturan pada adat istiadat cakak pepadun.
            Namun pada era sekarang ini sudah jarang masyarakat lampung yang masih melestarikan upacara ini secara utuh, namun upacara pemberian gelar ini di lakukan bersamaan dengan pernikahan.

           













BAB II
PERMASALAHAN


2.1.  Rumusan Masalah
       Dari makalah ini kami dapat mengambil masalah antara lain:
                  1.         Apa Sajakah  Jenis-Jenis Begawi ?
                  2.         Bagaimana Proses Pelaksanaan Begawi ?
                  3.         Bagaimana Proses Pelaksanaan Cakak Pepadun ?
                  4.         Bagamiana perlengkapan Cakak Pepadun ?


2.2.  Batasan Masalah
Adapun batasan masalah nya antara lain:
              1.         Bagaimana Proses Pelaksanaan Begawi















BAB III
PEMBAHASAN


3.1.  Begawi    
Begawi adalah proses pengambilan kedudukan kepunyimbangan dalam adat lampung lima kebuayan. Ada tiga sebab melakukan begawi adat, yaitu:
1. Begawi Nyusuk
Begawi nyusuk adalah salah satu prosesi pemberian gelar adat yang dilakukan untuk seseorang yang belum menjadi anggota masyarakat adat/suku lampung.
Syaratnya harus diakui oleh penyimbang marga di 5 (lima) kebuayan melalui sidang adat. Setelah itu penyimbang marga 5 (lima) kebuayan memanggil penyimbang-penyimbang tiuhnya untuk memberitahu dan mengadakan musyawarah, setelah itu baru seseorang yang akan melakukan begawi diberitahu syarat-syarat untuk melakukan begawi adat tersebut.
Syarat Begawi Nyusuk :
- Memotong 1 ekor kerbau untuk membuat batang pekalan
- Memotong 1 ekor kerbau untuk membuat tajing Belakat
- Memotong 1 ekor kerbau untuk membuat sesat
- Memotong 1 ekor kerbau untuk membuat rumah
- Memotong 1 ekor kerbau untuk membuat pepadun
Dalam begawi ini seseorang wajib memotong kerbau 1 ekor dan yang lainnya dapat diganti dengan uang yang besaranya sesuai dengan kesepakatan hasil musyawarah.

2. Begawi Mancor Zaman
Begawi ini dapat dikatakan begawi yang dilakukan oleh sebuah keluarga yang dari zaman ke zaman (mulai dari kakek sampai orang tuanya) sudah pernah melakukan begawi sehingga ketika orang tersebut akan melaksanakan begawi lagi untuk anak keturunannya inilah yang disebut begawi Mancor Zaman. Dengan demikian Begawi mancor zaman juga dapat dikatakan begawi pelimpahan jabatan oleh seorang penyimbang marga kepada anak keturunannya.

Syarat Begawi Mancor Zaman :
- Memotong Kerbau Hidup
- Duit sidang adat
- Duit penumbukan
- Duit tambulan
- Duit Kerbau Tiuh

3.1  Begawi Pepadun Kamah/Basuh Pepadun
Begawi pepadun kamah/basuh pepadun merupakan salah satu macam prosesi begawi dalam adat lampung di 5 (lima) kebuayan dilakukan karena ada seseorang/anggota dalam kebuayan tersebut melakukan pelanggaran dalam tatacara adat lampung. Ada dua macam cara melaksanakan begawi ini yaitu dengan cara melakaukan begawi sendiri dengan memotong kerbau hidup atau menumpang/ikut pada begawi orang lain dengan cara membayar kebau mati sebesar 1.200.000.

3.2  Begawi Adat Miji/Begawi Adat Sendiri
Begawi adat miji dilakukan oleh seseorang yang ingin memisahkan diri dari pepadun yang mereka gunakan selama ini. Dalam adat lampung di lima kebuayan jika seseorang melakukan pelanggaran/perbuatan yang kurang baik maka satu marga akan ikut terkena dampaknya sesuai peraturan adat. Salah satu tujuan dari begawi adat miji ini adalah seseorang ingin memisahkan diri sehingga jika dikemudian hari dia melakukan kesalahan/pelanggaran maka hanya dia sendiri yang akan menanggung akibatnya. Persyaratan untuk melakukan gawi adat miji adalah harus kesepakatan kedua belah pihak yang akan memisahkan diri, disyahkan oleh penyimbang marga lima kebuayan serta menyiapkan biaya-biaya yang dibutuhkan.

Dua dari tiga macam begawi yang berlaku di 5 (lima) kebuayan yaitu begawi nyusuk, mancor zaman dan begawi basuh pepadun/pepadun kamah adalah begawi yang dilakukan untuk pemberian gelar adat lampung. Jika seorang anggota/anak buah dari suatu marga ingin mendapatkan gelar adat maka penyimbang marganya akan memanggil penyimbang-penyimbang marga di lima kebuayan serta memberi tahu penyimbang tiuh/pepadun untuk kemudian mengadakan rapat adat dan kemudian menerangkan syarat-syarat kepada yang bersangkutan. Setelah proses-proses tersebut sudah dilaksanakan maka kemudian penyimbang marga menunjuk pengelaku marga yaitu orang dipercaya oleh penyimbang marga untuk mengatur jalannya prosesi adat begawi dari awal hingga akhir. Dalam acara begawi terdapat istilah-istilah antara lain injak batin dan pasuwa. Injak batin adalah prosesi gawi yang menampilkan tari-tarian atau nigol kemudian orang yang nigol tersebut akan diberikan uang dalam amplop oleh para pengelaku. Pasuwa merupakan puncak gawi nibah dipanca haji dihadiri oleh penyimbang marga 5 kebuayan dimana jempana pepadun atau penyimbang tiuh memasuki sesat dan duduk didalam kuade. Ciri dari pasuwa adalah adanya buah penjarau (panjat pinang), buah penjarau tersebut menunjukkan jumlah orang yang akan digawikan atau yang akan mendapat gelar adat saat itu sampai cakak pepadun.


3.3 PROSESI BEGAWI

A. Syarat-syarat Begawi
1. Membuat sesat (panggung adat) yang ditutup dengan kain putih
2. Membuat penjarau (batang pinang) yang akan dipanjat pada saat acara begawi. Penjarau ini digunakan sebagai acara hiburan bagi orang-orang yang sudah lelah bekerja mempersiapkan acara begawi tersebut.
3. Apabila yang melaksanakan begawi adalah penyimbang marga maka jumlah penjaraunya ada 4 ditambah 1 kayu wara dan 1 panca haji. Jika bukan penyimbang maka hanya ada 2 penjarau saja.
4. Menyiapkan duit adat untuk penyimbang marga atau raja
a) Bia gawi Rp. 120.000
b) Pesakin mengan
c) Pesakin pedom
d) Emas
e) Tapis cakah

B. Pra Begawi
Sebelum suatu marga/kebuayan melaksanakan begawi adat yang dilakukan adalah:
1. Ngolom (memberitahu dan ngundang) penyimbang-penyimbang kampung/lebu serta penyimbang marga lima kebuayan. Pada saat ngolom yang harus dibawa adalah dodol dan duit adat sebesar 24.000
2. Sidang adat didalam marga yang dihadiri oleh perwakilan 5 (lima) kebuayan
3. Sidang penentuan bia/biaya penumbukan
4. Menentukan waktu canggot (canggot matah, canggot agung dan canggot congggong)
5. Pengelaku sudah dapat mulai bekerja yaitu membuat sesat yang dibuat/dibagi menjadi kamar-kamar atau bilik. Sesat yang sudah dibuat dibagi menjadi tiga bagian yaitu pertama Arob tempat muli meranai raja ketika canggot, kedua lapang agung adalah tempat muli meranai pepadun dan yang ketiga buntut tempat muli meranai injak batin duduk ketika acara adat atau canggot.

C. Canggot
1. Canggot Matah
Canggot matah adalah dimana para pengelaku melakukan latihan acara adat misalnya latihan pisaan untuk anak-anak raja atau penyimbang marga. Pada canggot matah ini pakaian peserta canggot belum ditentukan artinya bebas tapi sopan.
2. Canggot Agung
a. Canggot Agung Muli Meranai
Pada saat canggot agung ini maka tata tertib adat sangat berlaku dan setiap warga adapt harus menurunkan muli meranai (pemuda/pemudinya) apabila tidak maka akan diproses secara adapt dan jika terdapat kesalahan pepadunya dianggap kotor/cacat.
• Pakaian perempuan pakaian kebaya, pakai kain tapis dan lain-lain
• Laki-laki pakai celana panjang, kopiah, pakai kai/simpor
• Mengumpulkan muli meranai (pemuda dan pemudi) di tempat rajanya/penyimbang marganya masing-masing atau tempat yang sudah ditunjuk. Kemudian pengelaku muli meranai yang melaksanakan begawi akan menjemput untuk dikumpulkan di lokasi begawi.
• Debahko muli meranai (pemuda dan pemudi), muli meranai yang dijemput dikumpulkan. Acara ini dibagi tiga tahap, pertama injak batin yang diturunkan adalah pemuda/pemudi yang belum pesuwa pepadun atau belum begawi belum ada kedudukan dalam adat kepunyimbangan pakaian yang digunakan berwarna merah. Kedua Injak pepadun bersih untuk pemuda/pemudi yang orangtuanya sudah naik pepadun pakaian yang digunakan berwarna kuning kemudian yang ketiga Injak penyimbang marga yaitu pemuda/pemudi anak raja atau anak penyimbang marga pakaian yang digunakan adalah putih. Ketika muli meranai itu sampai dilokasi maka akan disambut dengan tabuhan musik adat yang masing-masing mempunyai karakter. Jika Injak batin suara tabuhannya disebut tawak-tawak rua “gang-gung”. Injak pepadun tabuhannya tawak-tawak rua canang rua “gang-gung tang ting” dan jika Injak penyimbang marga cukup dengan canang rua “tang-ting”. Muli meranai yang diturunkan memasuki lokasi canggotnya akan berbeda-beda, injak batin masuk melalui pintu buntut, injak pepadun melalui pintu lapang agung dan injak penyimbang marga melalui pintu arob.
• Untuk tamu yang berasal dari kebuayan lain jika ingin ikut maka mereka langsung saja bergabung dengan salah satu muli meranai kampung yang melaksanakan gawi.
• Kemudian dilakukan nitik canang oleh raja/wakilnya menandakan acara canggot agung sudah dimulai dan berlaku segala hukum adat.
• Setelah nitik canang dilakukan pisaan muli meranai yang diawali oleh muli meranai dari dalam kampung dan dilanjutkan oleh muli meranai diluar marga. Pangkal pisaan yang diberi judul “muli hares” atau muli hadir.
• Setelah pisaan muli meranai berkumpul dilanjutkan dengan acara setumbukan/nari berturut-turut injak batin, injak pepadun dan injak penyimbang marga laki-laki dengan laki-laki kemudian perwakilan marga akan membagi-bagikan mereka duit (dalam amplop) yang besarannya sesuai kesepakatan sebelumnya.
• Dilanjutkan dengan nitik canang adok muli meranai yang melaksanakan gawi.
• Nyetar atau menyiapkan hidangan makan dan dilanjutkan dengan pisaan muli meranai dengan pangkal pisaan “Nyelah yang” artinya mengajak makan.
• Betekos membereskan perlengkapan setelah makan.
• Pisaan kembali dengan pangkal pisaan “Bundoran” menandakan canggot agung hampir selesai.
• Setelah pisaan maka raja/wakilnya dari yang melaksanakan gawi nitik canang yang menjelaskan bahwa canggot agung muli meranai sudah selesai dan peserta canggot agung muli meranai diantarkan pulang ke rumahnya masing-masing.

b. Canggot agung Perawatin
• Setelah canggot agung muli meranai selesai maka dilanjutkan dengan Canggot perawatin. Canggot perawati diawali dengan serak sepi muli meranai sai begawi.Yang melakukan serak sepi adalah lebu atau kelama atau jika tidak ada dapat diwakilkan oleh pengelaku.
• Kegiatan dalam canggot perawatin ini adalah setumbukan /nigol, negak ko penjarau, nurun ko atau ngedebah ko pilangan perawatin (prosesnya sama dengan nurun ko muli meranai). Jika begawi ini ikut dengan raja maka ngedebahko pilangan penyimbang merga langsung naik pepadun.
• Kemudian melakukan setumbukan yaitu perawatin yang berada didalam kamar/bilik masing-masing keluar ke lapangan upacara untuk kemudian melakukan nigol setumbukan dibelakang pepadunnya masing-masing. Setelah melakukan nigol maka bendahara dari masing-masing raja membagi-bagikan amplop (uang nigol).
• Selanjutnya yang begawi menaiki pepadun dan melakukan tigol sebanyak 3 kali. Kemudian bendahara membagi-bagikan uang nigol kembali.
• Setelah yang melaksanakan gawi menaiki pepadun tersebut dilanjutkan dengan acara “minjak ngongkop” yaitu semua penyimbang marga bangun dan melakukan nigol dilanjutkan dengan pembagian uang tigol oleh bendahara yang melakukan gawi adat.
• Dilanjutkan dengan Nyetar yaitu menyiapkan hidangan kemudian dilanjutkan dengan tari sabai.
• Kemudian dilanjutkan dengan nitik canang pemberian adok/gelar penyimbang yang melakukan gawi kemudian raja atau yang mewakili memberi gelar orang-orang yang ikut begawi.
• Terakhir adalah do’a dan makan-makan.

3. Canggot conggong
Canggot conggong sama dengan canggot matah, peserta canggot tidak diharuskan datang. Pada acara ini muli meranai nganik conggong (makan buntut kerbau) dan yang melaksanakan gawi mengucapkan terima kasih. Yang menjadi catatan adalah kerbau yang digunakan atau dipotong untuk acara gawi maka pada saat pemotongan/penyembelihannya harus didepan penyimbang marga dan pengelakunya. Sebagian dari daging kerbau tersebut diberikan kepada penyimbang-penyimbang pepadun tiap-tiap kampung yang diberi istilah bagi-bagi balung. Kerbau yang dipotong untuk gawi tersebut dibagi menjadi tiga bagian yaitu kepala untuk bakbai/ibu-ibu, badannya untuk penyimbang pada saat canggot agung dan conggongnya untuk muli meranai pada saat canggot conggong.


D. Hal-hal yang dapat dikenai denda/sanksi pada saat prosesi adat sedang berlangsung
Dalam adat atau prosesi adat lampung khususnya dilima kebuayan terdapat aturan-aturan yang jika terjadi akan mendapatkan sanksi/denda. Peraturan-peraturan tersebut dikenal dengan istilah Silip 8, Ugi-ugi 12, Cempala 24.
Ketiga istilah diatas adalah peraturan perundang-undangan adat ketika kita kita sedang pecundak/sedang melaksanakan adat.
1. Silip 8 ; jika yang menyemarkan adat atau melakukan kesalahan adalah seseorang yang statusnya masih debawah pepadun/anak pepadun.
2. Cempala 12 dan ugi-ugi 24 adalah jika yang melakukan kesalahan adalah seorang sutan.
Misal seorang sutan mempunyai saudara laki-laki 2 orang jika mreka melakukan kesalahan maka sutan tersebutlah yang bertanggung jawab.

Contoh dari larangan tersebut adalah duduk berdekan dengan lain jenis yang bukan istri/keluarganya, menyenggol pagar adat (tempat pelaksanaan canggot) dan suami istri bercerai. Jika pelanggaran tersebut terjadi maka orang yang melakukan kesalahan tersebut dikenai denda atau untuk membersihkan pepadunya yaitu dengan melakukan/ikut begawi bersih pepadun.

2. HIRARKI KEDUDUKAN DALAM ADAT

Dalam adat 5 (lima) kebuayan tata urutan gelar adat mulai dari yang tingkat bawah hingga tingkat atas adalah :
1. Saka-saka ; gelar yang dipakai Minak/batin
2. Jempana Pati Kuning ; Puan/Rajo
3. Penyimbang Pepadun/Tiuh ; Sutan/Raja
4. Tongkok Penyimbang Marga ; Pangeran, Ngedika, Tuan
5. Penyimbang Marga (Pemimpin marga).

Penyimbang Marga adalah Seorang tetua adat yang menguasai suatu wilayah kampung atau marga/kebuayan. Penyimbang Marga merupakan urutan teratas dalam urusan adat lampung di 5 (lima) kebuayan, tanpa penyimbang marga segala urusan adat tidak dapat diputuskan/dilaksanakan artinya segala urusan adat merupakan wewenang penyimbang marganya masing-masing. Dibawah penyimbang marga terdapat tongkok penyimbang marga dan penyimbang pepadun/penyimbang tiuh yang dapat dikatakan wakil dari penyimbang marga. Penyimbang tiuh dan tongkok penyimbang marga sudah dapat memutuskan urusan anak buah mereka (saka-saka dan jempana pati kuning) hanya saja harus tetap berkoordinasi/laporan dengan penyimbang marga. Misalnya seorang sutan ingin memberikan gelar kepada keponakannya maka sudah dapat memberikan gelar itu dengan syarat sudah melapor kepada penyimbang marganya. Jika seorang penyimbang pepadun yang mempunyai gelar sutan/raja kemudian ingin menjadi tongkok penyimbang marga yang mempunyai gelar pangeran adat ngendika maka orang tersebut harus melaksanakan/mengikuti gawi adat.


E. Syarat Menjadi Penyimbang Pepadun/penyimbang tiuh
Jika seseorang ingin menjadi penyimbang pepadun/tiuh syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah :
a. Semua penyimbang marga di lima kebuayan setuju serta memenuhi syarat-syarat begawi.
b. Membayar bia/biaya kepada tokoh adatnya masing-masing senilai 24
c. Memotong 2 ekor kerbau (1 untuk pasua dan 1 untuk naik pepadun)sepertemuan tigol kepada penyimbang-penyimbang yang datang dengan penumbukan tari tigol yang besaranya sesuai keputusan begawi.
d. Melakukan prosesi begawi seperti canggot agung, pangan muli meranai, serak sepi sepi haga cakak pepadun, negakko pejarau di halaman tempat tari tigol. Menurunkan pepadun dari rumah masing-masing kehalaman tempat tari tigol. Memberi uang kepada penari tigol pada saat mau cakak pepadun.
Masyarakat Lampung sebelum mendapat pengaruh peradaban dari luar seperti India (Hindu Budha) sudah mengenal semacam pemerintahan demokratis dengan bentuk marga. Di dalam pemerintahan marga terdapat kelengkapan fisik berupa sesat, yaitu rumah besar yang berfungsi untuk tempat berunding (Alf, 1954: 5). Menurut Ahmad Kesuma Yudha dengan mengacu pada pendapat J.W. Naarding (Yudha, 1996: 3), pemerintahan marga dikenal setelah kerajaan Tulang Bawang punah. Kekosongan pemerintahan ini dimanfaatkan Sriwijaya menguasai Lampung dan memperkenalkan sistem pemerintahan adat marga. Sistem ini berlangsung terus hingga kemudian Banten menguasainya

3.2 Pengertian Cakak Pepadun
Setiap masyarakat Lampung pepadun yang sudah melaksanakan tahapan-tahapan prosesi adat, mulai dari selamatan/ syukuran ( ruyang-ruyang), sunatan/ khitanan, tindik telinga dan meratakan gigi ( seghak sepei), upacara adat, tarian dan arakan bujang gadis ( canggot agung sumbai muli meghanai), peresmian pernikahan secara adat (ngughuk kebayan), mengenal tempat mandi (tughun mandi), ganti nama sementara (ngini ghik ngamai adok), dan puncak upacara adat adalah cakak pepadun.
Cakak Pepadun merupakan puncak dari acara yang harus dilaksanakan untuk member informasi tentang pemegang tanggung jawab dan yang memiliki hak adat kepada masyarakat. Mereka yang telah melalui cakak pepadun, bergelar Suttan, gelar yang paling tinggi dalam masyarakat adat pepadun. Mereka yang bergelar suttan wajib menjadi contoh teladan, berbudi pekerti baik, tokoh masyarakat, tokoh yang menjadi panutan di lingkungan masyarakat dan lingkungan desa sehari-hari.

3.3  Peralatan Begawi Cakak Pepadun
Begawi Cakak Pepadun ialah kegiatan/acara untuk mendapatkan gelar adat.
Dalam hal prosesi upacara adat perkawinan berlaku pula upacara gawi. Begawi tersebut bisa dilakukan di tempat mempelai pria maupun wanita. Untuk mempersiapkan upacara begawi, para penyimbang kedua belah pihak di tempat masing-masing mengadakan pertemuan atau bermusyawarah guna mengatur persiapan-persiapan yang akan dilaksanakan.
Persiapan yang harus dilakukan oleh pihak keluarga pria yakni menyiapkan semua alat-alat perlengkapan adat untuk ngakuk majau (mengambil mempelai wanita) dan begawi turun duwei atau cakak pepadun. Acara akad nikah dilakukan di tempat mempelai pria, tapi ada kalanya atas permintaan pihak gadis, para penyimbang mempersiapkan untuk menerima mempelai pria dan rombongannya serta melepas anak gadis yang akan di ambil pihak bujang (gawi ngebekas majau) dan mempersiapkan barang-barang bawaan/sesan.
Peralatan adat yang perlu dipersiapkan dalam upacara begawi cakak pepadun, antara lain: Pakaian Adat Lengkap, Sessat, Lunjuk/Patcah Aji, Rato, Kuto Maro, Jepano, Pepadun, Panggo, Burung Garuda, Kulintang/Talo, Kepala Kerbau, Payung Agung, Lawang Kuri, Titian/Tangga, Bendera, Kandang Rarang dan Kayu Ara.

1. Pakaian Adat Lengkap
Pakaian adat adalah pakaian yang dipakai pada saat upacara adat. Pakaian itu dalam suatu upacara adat telah menjadi tradisi sejak dulu dan merupakan suatu hasil dari perundingan/musyawarah adat yang disepakati bersama serta menjadi tradisi secara turun temurun hingga sekarang. Pakaian upacara adat antara suku atau marga satu dengan marga yang lain terdapat perbedaan istilah atau nama benda-benda yang sama, walaupun sama-sama beradatkan pepadun.
Pakaian yang biasanya di pakai pada saat upacara begawi cakak pepadun, terbagi atas: pakaian Prowatin (Pepung), pakaian Mulei Menganai Aris, pakaian Penganggik, pakaian Mulei Pengembus Imbun, pakaian Pengantin Tradisional serta pakaian Penyimbang. Masing-masing pakaian ini memiliki perbedaan jenis sesuai dengan pemakainya.

2. Nuwo Balak dan Sessat Agung
Sessat/balai adat adalah tempat permusyawaratan adat para Purwatin (majelis pemuka adat). Tempat tersebut biasanya digunakan oleh masyarakat adat untuk bermusyawarah berhubungan dengan upacara/acara perkawinan seperti menata, merancang, menimbang, mengingat sampai memutuskan sesuai dengan permintaan yang punya gawei pada para penyimbang/tokoh adat setempat. Acara-acara penting yang dilaksanakan di sessat, antara lain: waktu menerima pesirah di sessat, waktu penyimbang merwatin di sessat, waktu menerima uno gawei (uang), waktu makan, minum, siang-malam pangan kibau (makan besar/makan kerbau), waktu ngedio di sessat, cangget turun mandi, cangget mepadun, cangget bulan bago/gangget agung dan mepadun.

3. Lunjuk/Patcah Aji
Lunjuk adalah mahligai upacara adat atau mahligai penobatan. Bangunannya terpisah dari sessat dan mempunyai tangga dalam sebutan adat ijan titian. Bangunan itu berbentuk panggung dengan tiang pendek. Di bagian tengahnya ada batang kayu ara bertangkai empat bertingkat sembilan dan berbuahkan berupa kain, handuk, dan kipas.
Pada lantai lunjuk dekat kayu ara di pasang dua kursi yang beralaskan kain putih atau dibuat lunjuk kecil beralaskan kain putih untuk tempat duduk mempelai. Disinilah tempat diresmikannya kedudukan adat seseorang dengan gelar kebesarannya serta diumumkan fungsi kekuasaan pemerintahan kekerabatannya.
Didepan kedua kursi diletakkan kepala kerbau yang baru dipotong serta sebuah talam berisi nasi yang di tata dengan daging kerbau serta hati kerbau yang telah di masak dan disajikan lengkap dengan air minum serta kobokannya. Apabila hendak mengenakan/memakaikan gelar Pengeran, maka kedua kaki mempelai dikawinadatkan diatas lunjuk.

Kedua mempelai dengan pakaian adat lengkap diarak dengan tetabuan dari rumah menuju lunjuk dan didudukkan diatas kursi yang telah dipersiapkan, kemudian kedua ujung kaki atau jari kanan laki-laki dengan ujung jari kiri perempuan (kedua mempelai) dituangi air dingin sebanyak 7 kali. Diteruskan dengan pemasangan gelar kedua mempelai. Upacara ini di sebut upacara turun duwai (turun mandi). Turun duwai merupakan acara puncak pada acara pernikahan dan acaranya dilaksanakan diatas panggung kehormatan yang dinamakan dengan patcah haji atau patcah aji (tempat mengambil gelar).

4. Rato
Rato/Rata adalah kereta dorong beroda empat yang merupakan sarana adat bernilai tinggi. Alat ini berfungsi untuk mengangkut kerabat penyimbang dalam upacara diantara lunjuk dan sessat serta untuk menjemput ibu-ibu tamu agung dari daerah lain yang datang menyaksikan gawei tersebut. Undangan itu di arak dan diiringi tetabuhan dengan memakai pakaian adat naik ke atas Rato dari ujung kampung menuju balai adat.

5.Kuto Maro
Kuto Maro adalah suatu tempat duduk dari seorang raja yang tertua bagi wanita. Bila didalam sessat/rumah adat, benda itu dinamakan Kuto Maro, kalau berada di rumah namanya Puade. Demikian tata guna Kuto Maro dalam upacara adat. Benda ini tidak sembarangan orang bisa memakainya, harus ada syarat yang harus diselesaikan terlebih dahulu.

6.Jepano
Jepano merupakan alat angkut raja adat dan mempunyai nilai tinggi derajatnya karena merupakan tandu adat yang digunakan pada saat pengambilan gelar Suttan. Setiap Suttan harus menggunakan Jepano. Adapun cara memakai Jepano ini sudah diatur tokoh-tokoh adat, sebagai berikut: Jepano di dandan dengan kain serba putih. Seorang calon Suttan berdandan lengkap dengan pakaian kebesaran Suttan dengan didampingi Ngigel Pepadun. Calon Suttan dan pendampingnya naik ke atas Jepano yang di pikul dengan diiringi tetabuhan, payung agung, awan telapah menuju sessat. Di depan sessat, disambut oleh tokoh-tokoh adat beserta para ibu-ibu penyimbang dengan dua kursi untuk upacara tari Igel Mepadun. Setelah itu pengurus gawi telah siaga mengatur kejengan pepadun/letak pepadun asli Suttan baru didalam sessat
.7. Pepadun
Pepadun adalah tahta kedudukan penyimbang atau tempat seorang raja duduk dalam kerajaan adat. Pepadun digunakan pada saat pengambilan gelar kepenyimbangan (pemimpin adat). Kegunaan pepadun yakni sebagai simbol adat yang resmi dan kuat, berakarkan bukti-bukti dari masa ke masa secara turun temurun. Seorang penyimbang yang sudah bergelar Suttan diatas pepadun sendiri/pepadun warisan nenek moyang/orangtuanya, maka ia bertanggungjawab sepenuhnya untuk mengurus kerajaan kekerabatan adatnya.
Secara terminology, kata pepadun berasal dari kata perpaduan yang berarti dalam bahasa Lampung artinya berunding. Kursi Pepadun dalam adat sebagian besar terbuat dari bahan kayu tebal. Pepadun melambangkan pula status/derajat seseorang dalam sosial kemasyarakatan. Pepadun juga merupakan atribut yang utama dari penyimbang masyarakat Lampung beradatkan pepadun.

8. Panggo
Panggo adalah salah satu sarana adat untuk anak pria atau wanita seorang tokoh adat, berbentuk talam kecil yang terbuat dari perak asem. Kegunaan Panggo sebagai alas pada saat dua anak putri penyimbang di panggo/digotong oleh dua orang laki-laki yang masih kerabatnya dari rumah sampai diterima oleh panitia gawi di sessat yang akan ikut meramaikan acara adat seperti cangget dan lain-lain. Selain itu, juga pada acara pelepasan seorang putri penyimbang yang akan menikah (pinang ngerabung sanggang). Putri tersebut di panggo dari rumah sampai ke lunjuk balak. Sedangkan calon suami putra penyimbang di panggo dari lunjuk ke rato burung Garuda yang telah siap untuk pulang membawa sang putri ke tempat sang suami.

9.Burung Garuda
Burung Garuda biasanya bersama dengan rato yang di sebut Rato Burung Garuda. Benda ini merupakan kendaraan raja dari zaman purbakala. Burung Garuda di sini memiliki badan yang panjang dan besar, sayap dan bulunya terbuat dari kain putih dengan maksud kendaraan tersebut dapat menempuh perjalanan jarak jauh. Sebab dia mempunyai dua kemampuan yaitu berjalan di daratan dan terbang di udara, maka dalam penggunaannya tidak/jarang terpisah dari rato karena ia mampu menarik atau menerbangkan kendaraan yang akan membawa rombongan pineng ngerabung sanggang/rombongan pihak pria dari tempat mempelai wanita ke tempat mempelai laki-laki. Burung Garuda itu pada masyarakat Lampung mempunyai makna yang sangat tinggi yakni melambangkan dunia atas dan dunia bawah.
10. Kulintang/Talo
Kulintang merupakan bebunyian seperti gamelan Jawa tapi tidak lengkap. Hanya berupa gamelan sederhana. Seni bunyi-bunyian ini terbuat dari bahan logam perunggu berjumlah 12 buah dengan nada suara yang berbeda-beda. Alat musik itu biasanya ditabuh untuk mengiringi acara-acara adat; Tabuh Sanak Miwang Diljan, Tabuh Sereliyih Adak Deh, Tabuh Serenundung Lambung, Tabuh Tari, Tabuh Muli Turun di Sessat, Tabuh Baris untuk Gubar Sangget, Tabuh Damang Kusen.
Dalam acara-acara adat gawi, Kulintang juga turut menentukan ramai tidaknya acara adat baik di sessat maupun di rumah. Sebab penabuh harus orang-orang yang benar-benar cakap menabuhnya. Apalagi setiap saat Kulintang ini ditampilkan/dibunyikan dalam acara-acara seperti: Cangget, Nyambut tamu, di Lunuk, di Pusiban, di Tanah Adat Sessat.

11. Kepala Kerbau
Kepala Kerbau yang diletakkan diatas lunjuk/panggung kehormatan melambangkan keperkasaan atau kejantanan dari mempelai pria, karena pada zaman dulu tengkorak kepala orang yang disuguhkan dihadapan orang ramai yang merupakan hasil dari si pemuda yang akan dikawinkan. Tengkorak/kepala orang tersebut merupakan syarat dalam perkawinan jujur. Perkembangan selanjutnya, tengkurak itu di ganti dengan hewan kerbau.

12. Payung Agung

Payung Agung merupakan tanda kebesaran raja adat. Payung ini terbuat dari bahan kain warna putih, kuning dan merah. Ketiga warna dari payung tersebut melambangkan tingkat kedudukan penyimbang/kepala adat pada masyarakat Lampung beradat Pepadun. Payung Putih; digunakan oleh Penyimbang Mega/Marga. Payung Kuning; digunakan oleh Penyimbang Tiyuh dan Payung Merah; digunakan oleh Penyimbang Suku.

13. Lawang Kuri
Lawang Kuri merupakan pintu gerbang kerajaan adat dilingkungan masyarakat adat Pepadun. Fungsi lawang kuri ini didalam upacara adat adalah sebagai pembatas/pintu, dimana pada lawang kuri dipasang kain penutup berupa sanggar.


14. Titian/Tangga

Titian Tangga ini berasal dari kata ijan titian. Ijan titi juga merupakan sarana adat. Biasanya dipasang di sessat, lunjuk dan tangga rumah si empunya gawi. Ijan titian disebut pula titian kuya/jalan putri yaitu tangga yang diatasnya dibentang kain putih/kain belacu untuk tempat langkah kaki penyimbang dan mempelai menuju balai adat dalam sebuah upacara adat.



15. Bendera
Bendera dari kain berbentuk segitiga, dipasang pada tiang-tiang bambu diletakkan di depan sessat dan di depan rumah yang punya gawi.
Kandang Rarang
Kandang Rarang adalah lembaran kain putih yang panjang, dipakai untuk mengurung/membatasi rombongan para penyimbang atau mempelai yang berjalan menuju ke tempat upacara adat dan di pakai untuk menyambut tamu agung bersama dengan payung, awan telepah serta diiringi tatabuhan. Kain putih itu di pasang pada ujung kain, dipegang oleh para pria muda pada setiap penjuru. Semua yang di kurung berpakaian adat.
16. Kayu Ara
Kayu Ara biasanya terletak ditengah lunjuk (panggung kehormatan) dikeempat sudut lunjuk. Kayu Ara ini berbentuk seperti pagoda sederhana menjulang keatas. Tiangnya terbuat dari batang pohon pinang yang dilingkari oleh lingkaran bambu berhias yang digantungi berbagai macam benda seperti kain, selendang, handuk, dan kipas.
Pada akhir acara, pohon kayu ara itu di panjat oleh kerabat yang membantu bekerja dalam upacara adat dan anak-anak setempat. Mereka saling berebut untuk mendapatkan buah kayu ara. Biasanya tiang pohon ini di beri bahan pelicin agar tidak mudah di panjat. Bagi masyarakat pribumi Lampung, kayu ara melambangkan pohon kehidupan.


3.2 Tahapan Begawi Cakak Pepadun
           
a. Ngakuk Muli (Lamaran) 
Tata cara dan upacara perkawinan adat pepadun pada umumnya berbentuk
perkawinan jujur dengan menurut garis keturunan bapak (patri lineal) yaitu
ditandai dengan adanya pemberian sejumlah uang kepada pihak perempuan untuk
menyiapkan sesan, yaitu berupa alat-alat keperluan rumah tangga. Sesan tersebut
akan diserahkan kepada pihak keluarga mempelai laki-laki pada upacara
perkawinan berlangsung yang sekaligus sebagai penyerahan (secara adat)
mempelai wanita kepada keluarga/klan mempelai laki-laki. 
Dengan demikian secara hukum adat, maka putus pula hubungan keluarga
antara mempelai laki-laki dan mempelai perempuan.
Terjadinya perkawinan menurut adat suku lampung pepadun melalui 2
cara, yaitu Rasan Sanak dan Rasan Tuho.

1. Rasan Sanak
Perkawinan menurut rasan sanak ini atas kehendak kedua muda-mudi
dengan cara berlarian (sebambangan) di mana si gadis dibawa oleh pihak
bujang kekepala adatnya, kemudian diselesaikan dengan perundingan
damai diantara kedua belah pihak. Perbuatan mereka ini disebut “Mulei
Ngelakai”. Apabila gadis yang pergi berlarian atas kehendak sendiri maka
disebut “Cakak Lakai/Nakat”. Dalam acara berlarian ini terjadi perbuatan
melarikan dan untuk si gadis dipaksa lari bukan atas persetujuannya.
Perbuatan ini disebut “Tunggang” atau “Ditengkep”.
Perbuatan tersebut diatas merupakan pelanggaran adat muda-mudi dan
dapat berakibat dikenakan hukum secara adat  atau denda. Tetapi pada
umumnya dapat diselesaikan dengan cara damai oleh para penyembang
keduabelah pihak.
2. Rasan Tuhou
Rasan Tuhou (pekerjaan orang tua), yaitu perkawinan yang terjadi
dengan cara “lamaran” atau pinangan dari pihak orang tua bujang kepada
pihak orang tua gadis. Rasan tuhou ini juga dapat terjadi dikarenakan
sudah ada rasan sanak, yang kemudian diselesaikan oleh para penyimbang
kedua belah pihak dengan rasan tohou.

b. Pepung Marga (sidang marga)
Mengundang prowatin untuk melaksanakan pepung marga (sidang
marga), mencari penanggung jawab dalam acara begawi (pangan tohow) agar
upacara adat dapat berjalan dengan baik maka pangan tohow bertanggung jawab
atas semua kegiatan yang akan di rencanakan dalam acara begawi. Pepung marga
itu membicarakan dau-dau pengajian (uang adat) dan menentukan hari yang akan
dilaksanakan.

 c. Ebal Serbo (begawi lengkap) 
Ebal serbo adalah cara mengambil gadis dalam tata cara tertinggi dalam
adat lampung pepadun maka pihak laki-laki  menjemput pihak perempuan di
rumah adat, kemudian dari pihak pengantin laki-laki memiliki juru bicaranya
istilah juru bicara itu di sebut bebakheb. Terjadilah negosisasi diantara babekheb pihak laki-laki dan perempuan untuk melaksanakan begawi adat tahap selanjutya
yaitu penghantaran dari rumah adat ke rumah laki-laki  menggunakan kereta
kencana (khatow) yaitu gerobak kecil beroda empat yan di kelilingi oleh kain
putih dan diatasnya di pasang burung garuda. Si perempuan duduk di atas kereta
kencana dengan memegang pangkal tombak dan si laki berjalan di depannya
memegang arah ujung tombak, di tengah-tengah tergantung kendi, pisang raja,
kelapa yang sudah tumbuh, dan labai.Kemudian kandang khakhang melingkar
setengah lingaran yang mana di dalamnya yaitu mukhrim dari pengantin laki-laki
dalam perjalanan itu di arak dengan arak-arakan kan diiringi dzikir yang di ambil
dari kitab al barzanji dan di bawa ke rumah penyimbang sebelum di boyong
kerumah pengantin laki-laki.

d. Cangget
Cangget merupakan prosesi adat yang melibatkan pemuda pemudi atau
bujang gadis, berupa tari-tarian  adat yang urutannya tari penglaku, penglaku
bapak-bapak, penglaku bujang, dan penglaku gadis. kemudian tari untuk
pengantin perempuan namanya tari pilangan dia menari dan dikelilingi oleh para
panitia wanita yaitu penglaku gadis. Kemudian gadis-gadis yang ikut menari di
pulangkan kerumah untuk berganti menggunakan pakaian biasa dan kembali lagi
ke tempat cangget. Dilanjutkan denganngediaw yaitu pantun bersaut antara bujang dan gadis tetapi mereka ada pemandunya dilakukan sampai menjelang subuh. 
e. Pelaksanaan Turun Diway (Turun Air)
Pelaksanaan Turun Diway sama seperti Begawi Cakak Pepadun yaitu
sama-sama memotong kerbau. Hanya satu yang membedakannya, dalam Begawi
Cakak Pepadun semuanya serba lengkap baik dari segi perlengkapan maupun
pelaksanaanya. Pada pelaksanaan turun keair (Turun Diway) peralatan yang perlu
dipergunakan sebagai berikut :
·         Membawa payan (tombak yang ujungnya terbuat dari besi dan gagang kayu berukuran satu meter setengah).
·         Hiasan tombak : Kendi, kelapa yang bertunas, pisang raja, benang
dengan macam-macam warna, kesemuaannya itu digabung menjadi
satu lalu dibawa ke sungai dengan diiringi pendamping sultan.
·         Paccah aji dan kepala kerbau.
Mereka turun ke sungai atau kali untuk mencuci kaki, apabila tidak ada
sungai atau kali maka mereka merendamkan kakinya kedalam bak air yang telah
disediakan dan diusap-usapkan air tersebut pada kedua belah kakinya, Kemudian duduk di atas paccah aji dan menginjak kepala kerbau.
Maksud dari turun diway ini agar sultan yang akan di nobatkan bersih lahir
batin dari semua kotoran yang terdapat di dalam diri dan hilang terbawa air. Dan
menginjakan kaki diatas kepala kerbau bahwa hawa-hawa binatang yang ada di
dalaam diri manusia harus dihilangkan sehingga tidak menghambat perjalanan
rohaninya ketika berumah tangga.

f. Tigel Tari (menari)
Adat kebiasaan masyarakat  jika diadakan pelaksanaan Begawi,
mereka mengadakan Tigel tari. Acara ini dimaksudkan untuk menghibur
Punyimbang Marga berpasang-pasangan dengan  marga yang lainnya. Tigel tari
dibagi menjadi beberapa kelompok.Ttigel punyimbang, tigel karib kerabat dan
tigel bujang gadis.Mereka menari menurut kelompokya masing-masing.

g. Cakak Pepadun 
Pelaksanaan Cakak Pepadun dilaksanakan pada pagi hari pukul 08.00 WIB
sampai acara selsai. Apabila akan cakak pepadun/ angkat nama berpangkat marga
maka pakaiannya serba putih memakai payung putih, burung garuda diletakkan di
atas pepadun, payung gerebek diletakkan dekat dengan payung putih, penyiku
kanan, penyiku kiri dan penenggau mengiring ke atas pepadun lalu duduk dan
sultan menginjakkan kaki kerbau, mereka berdua dikelilingi oleh kain putih yang
disebut lawang kuri adalah pembatas tempat duduk sultan, bagi para prowatin
berembuk membicarakan hal-hal yang berkenaan dengan acara begawi tentang
biaya-biaya (Pepadun), nama dan gelar yang wajib disandang calon punyimbang
setelah selesai pangan toho dan prowatin mengumumkan gelar sambil diselingi
bunyi tetabuhan canang. Dan setelah selesai menunjuk salah satu wanita untuk
berpakuh (memukul dahi dengan gagang kunci untuk adek sebagai nama
panggilan saudara terdekat, lalu punyimbang yang telah dinobatkan di panggo
(diangkat) naik diatas nampan kuning oleh penyiku, untuk memberikan petuah
petuah kepada pengikutnya baik bersifat agama maupun aqidah dan dilanjutkan
dengan menyaliman ucapan selamat atau baiah.















BAB IV
KESIMPULAN


Begawi adalah proses pengambilan kedudukan kepunyimbangan dalam adat lampung lima kebuayan. Ada tiga sebab melakukan begawi adat, yaitu:
Begawi nyusuk, begawi mancor zaman, begawi pepadun kamah, Begawi Adat Miji/Begawi Adat Sendiri.
Pengertian Cakak Pepadun
Setiap masyarakat Lampung pepadun yang sudah melaksanakan tahapan-tahapan prosesi adat, mulai dari selamatan/ syukuran ( ruyang-ruyang), sunatan/ khitanan, tindik telinga dan meratakan gigi ( seghak sepei), upacara adat, tarian dan arakan bujang gadis ( canggot agung sumbai muli meghanai), peresmian pernikahan secara adat (ngughuk kebayan), mengenal tempat mandi (tughun mandi), ganti nama sementara (ngini ghik ngamai adok), dan puncak upacara adat adalah cakak pepadun.
Cakak Pepadun merupakan puncak dari acara yang harus dilaksanakan untuk member informasi tentang pemegang tanggung jawab dan yang memiliki hak adat kepada masyarakat. Mereka yang telah melalui cakak pepadun, bergelar Suttan, gelar yang paling tinggi dalam masyarakat adat pepadun. Mereka yang bergelar suttan wajib menjadi contoh teladan, berbudi pekerti baik, tokoh masyarakat, tokoh yang menjadi panutan di lingkungan masyarakat dan lingkungan desa sehari-hari.









DAFTAR PUSTAKA

 Sabarrudin, Lampung Pepadun Dan Saibatin/Pesisir, (Jakarta: way lima manjau, 2012)  Diakses pada  1 Oktober 2018, 21.00
dham sirah gelar Suttan Pesirah.Tokoh Adat Menggala Kota. Wawancara pada tanggal 25 Juli 2017 .Diakses pada 1 Oktober 2018, 21.00
https://www.infokyai.com/2016/11/peralatan-dan-perlengkapan-cakak.html?m=1














Tradisi Kebo-Keboan, Masyarakat Banyuwangi, Jawa Timur

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang             Banyuwangi adalah salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Di ...